MAKALAH PEMBUKTIAN DALAM PERADILAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuktian di muka pengadilan merupakan hal
yang terpenting dalam hukum acara sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan
keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Oleh karena itu, untuk dapat
menyelesaikan suatu perkara yang dibawa ke muka hakim dan supaya keputusan
hakim benar- benar mewujudkan keadilan maka hendaklah hakim mengetahui hakikat
gugatan/dakwaan dan mengetahui hukum tentang perkara tersebut.[1]
Hakim mengetahui tentang gugatan- gugatan yang
dihadapkan kepadanya, baik dengan menyaksikan sendiri apa yang digugat itu,
ataupun dengan sampainya berita secara mutawatir kepadanya. Kalau berita yang
sampai kepadanya, tidak dengan jalan mutawatir tentu tidak dapat
menyakinkannya, hanya dapat menimbulkan persangkaan yang kuat saja.
Oleh karena mengharuskan
seseorang memperoleh berita secara mutawatir itu, menimbulkan kesukaran dan
dapat menghilangkan banyak hal, maka agama membolehkan hakim menerima
keterangan yang dapat menimbulkan persangkaan yang kuat dan dibenarkan hakim
menerima keterangan tersebut. Untuk mengetahui tentang gugatan-gugatan yang
diajukan itu, cukuplah dengan pengakuan orang yang digugat atau atau
keterangan–keterangan dari saksi yang adil, walaupun kemungkinan yang
mengajukan perkara tersebut berdusta dan demikian pula dengan saksi-saksinya.
Berdasarkan uraian tersebut, sudah jelas
pembuktian adalah hal yang paling urgen dan harus dilakukan demi dan untuk
tegaknya serta terpeliharanya keadilan. Teori di balik penyelenggaraan keadilan
dalam Islam didasarkan atas prinsip-prinsip yang unik, dan bersumber pada quran
serta kedaulatan ummat. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut,
Khalifah, Kaisar atau Sultan sama sekali bukan merupakan sumber keadilan. Dalam
bentuk hubungan antara penguasa di satu pihak dan yang dikuasai di pihak lain,
keagungan mereka dan kekuasaan negara dipandang sebagai suatu hubungan yang
selaras dan sesuai dengan kebajikan yang tercermin dalam hasil-hasil positif
dari tujuan pemerintah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hukum
selalu didasarkan pada pemeliharaan agama yang melambangkan peran agama sebagai
sintesis atas penegakan keadilan.
Pelaksanaa keadilan yang
berlandaskan pembuktian itu sesungguhnya telah terdapat cikal bakalnya pada
periode Rasulullah yang pada akhirnya menjelma sebagai tatanan formal hukum
pembuktian. Untuk itu, dalam
makalah ini akan dibahas penelusuran pembuktian dalam Peradilan Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
diperlukan penelusuran alat bukti dalam sejarah Peradilan Islam dalam
pelaksanaan pembuktian. Untuk mengarahkan pembahasan makalah ini dapat ditarik
beberapa sub masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian,
tujuan, asas dan urgensi pembuktian?
2. Apakah memutuskan suatu
perkara itu harus dengan bukti atau tidak?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Pembuktian
Pada proses penyelesaian perkara,
pembuktian sangat terkait erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk membuktian
seseorang terlibat atau tidak, proses pembuktian memegang peranan sangat
penting. Melalui pembuktian
inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst
mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian suatu peristiwa pidana telah
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya.”[2]
Menurut Yahya Harahap,
dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat
memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum
dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantah hubungan hukum yang diperkarakan.
Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian
hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih
diperselisihkan di antara pihak-pihak yang berperkara.[3]
Menurut R. Subekti yang
dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan didalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan
di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.[4]
Dari pengertian tersebut,
maka dapat disimpukan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara
untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan
oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan. Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang
diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil
yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan
yang teliti dan saksama itulah hakim hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa
atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku.
- Tujuan
Pembuktian
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada
hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Karena hakim yang harus
memeriksa, mengadili dan kemudian memutuskan perkara, maka tujuan pembuktian
adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Karena putusan
itu diharuskan objektif, maka pembuktian ini diharuskan bertujuan untuk memperoleh
kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar
terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar.
Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah
berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian,
hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan
perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah,
terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang
tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak
mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality
before the law).[5]
- Asas
Pembuktian
Asas pembuktian dalam hukum acara perdata
dijumpai dalam pasal 1865 BW, pasal 163 HIR, pasal 283 RBG, yang bunyi
pasal-pasal itu semakna, yaitu:” Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna
membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan
membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut”.[6]
Asas pembuktian tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut: A (penggugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar hutang
kepada A maka kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B
kepada A, sebab saat itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa piutang
dari B. selanjutnya,di muka sidang B membantah, menurut B adanya di atas
kuitansi tersebut bukanlah karena B mempunyai hutang kepada A tetapi karena B
dipaksa oleh A untuk membuatnya, maka kepada B dibebankan untuk membuktikan
akan kebenaran bantahannya tersebut, karena B ketika itu membantah hak orang
lain atasnya. Mungkin juga B di muka sidang mengatakn bahwa hutang tersebut ada
tetapi sudah dibayar, hanya saja tidak memakai tanda pembayaran/ kuitansi dan
kuitansi hutang sebelumnya tidak dimintanya kembali dari A, maka dalam hal ini
kepada B dibebankan oleh hakim untuk membuktikan peristiwa pembayarannya
tersebut.
Gambaran tersebut sudah terlihat bahwa beban
pembuktian sesewaktu kepada penggugat dan sesewaktu kepada tergugat karena asas
pembuktian mengatakan demikian. Sebagaimana sabda Nabi saw.
“ Jika gugatan
seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyak orang yang menggugat hak
atau hartanya terhadap orang lain (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut
hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa
tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai
bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya. “[7]
- Urgensi
Pembuktian dalam Pemeriksaan Perkara.
Pembuktian memegang peranan penting dalam
pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya pembuktian,
hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi
sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka diketahui tentang
apa yang harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan
hal-hal yang tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.
a. Apa yang harus
dibuktikan.
Sesuai dengan tujuan pembuktian yaitu untuk
memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka yang
harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para
pihak-pihak terhadap sesuatu yang belum jelas atau yang menjadi sengketa. Jadi
yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan kejadian yang telah dikonstatir dan
dikualifisir. Tentang hukumnya tidak perlu dibuktikan, karena hakimlah yang
akan menetapkan hukumnya dan hakim dianggap tahu hukum, oleh karena itu seorang
hakim haruslah mempunyai ilmu pengetahuan hukum yang cukup.
Peristiwa- peristiwa yang
harus dibuktikan di muka pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Peristiwa atau kejadian
tersebut harus merupakan peristiwa atau kejadian yang disengketakan, sebab
pembuktian itu merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa. Kalau pembuktian terhadap peristiwa atau
kejadian telah diakui oleh tergugat tidak perlu dibuktikan lagi.
2. Peristiwa atau
kejadian tersebut harus dapat diukur, terikat dengan ruang dan waktu.
3. Peristiwa atau
kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang disengketakan.
4. Peristiwa atau
kejadian itu efektif untuk dibuktikan. Maksudnya bahwa sering dalam membuktikan
suatu hak terdiri dari rangkaian beberapa peristiwa, maka peristiwa atau
kejadian tersebut merupakan salah satu mata rangkaian peristiwa atau kejadian
tersebut.
5. Peristiwa atau
kejadian tersebut tidak dilarang oleh hokum dan kesusilaan.[8]
b. Siapa yang dibebani
beban pembuktian.
Para pihak yang berperkara berwenang dan
berkewajiban mengemukakan bukti apabila diminta oleh hakim. Hakim yang akan
menetapkan kepada siapa dibebankan pembuktian tersebut. Pihak yang dibebankan
wajib bukti akan mengandung resiko bahwa jika tidak berhasil maka pihak tersebut
akan dikalahkan.[9]
Lazimnya, penggugat sebagi
pihak yang memulai dahulu menggugat, kalau dibantah oleh tergugat maka
penggugat harus membuktikan kebenaran gugatannya. Demikian pula jika tergugat di dalam
bantahannya mengajukan tuntutan, maka hal itu harus dibuktikan pula.
Jadi beban pembuktian itu bukan terletak pada
hakim, melainkan pada masing-masing pihak yang berperkara baik penggugat maupun
tergugat. Pembuktian tersebut tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan, oleh
karena itu hakim haruslah berhati-hati dalam menetapkan beban pembuktian
tersebut dengan pembuktian secara seimbang dan patut dan tidak berat sebelah.
Memutuskan suatu perkara itu apakah dengan bukti atau tidak?
Suatu perkara di Pengadilan tidak dapat diputus
oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan
penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh
hakim tetapi putusan yang menolak gugatan karena tidak ada bukti.
Dalam kitab-kitab fikih kebanyakan fuqaha
menyebut alat bukti dengan al- bayyinah. Pengistilahan ini sesuai dengan
hadis Nabi saw. yang telah disebutkan sebelumnya. Adapula yang menyebutkan nya
dengan al- hujjah, ad- dalil, al- burhan, tetapi yang tiga terakhir ini
tidak lazim dipakai. Alat bukti terdiri beberapa macam. Di antaranya ada yang
disepakati oleh mazhab-mazhab dan sebagiannya lagi masih diperselisihkan. Di
dalam kitab-kitab hukum Islam (fiqh) kebanyakan para ahli hukum Islam menyebut
alat bukti dengan Al-Bayyinah yang berarti keterangan, yaitu segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar).[10]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ada
26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun tidak
semuanya diterima oleh ahli fiqih. Adapun alat bukti yang disepakati oleh ulama
fiqih adalah sebagai berikut:[11]
1.
Kesaksian (asy-syahadah);
2.
Ikrar (al-iqrar), pengakuan dari pihak tergugat
bahwa apa yang digugat oleh penggugat adalah benar;
3.
Sumpah (al-yamin);
4.
Nukul (penolakan pihak tergugat untuk bersumpah dalam
menguatkan haknya;
5.
Qarinah (indikasi yang menunjukkan kebenaran atau ketidakbenaran
suatu gugatan);
6.
Qasamah (sumpah yang dilakukan berulangkali oleh penggugat dalam
kasus pembunuhan atau sumpah yang dilakukan oleh masyarakat di daerah sekitar
tejadinya pembunuhan atau tempat kejadian perkara, yang bertujuan untuk
menyatakan bahwa mereka bukan pembunuhnya);
Dalam pada itu, dalam
makalah ini hanya akan dibahas beberapa alat bukti yang terpokok atau hujjah-hujjah
syar’iyah yang diperlukan dalam soal gugat-menggugat serta yang sering
digunakan dalam Peradilan Islam, yaitu:
1) Iqrar (pengakuan)
2) Syahadah (kesaksian)
3) Yamin (sumpah)
4) Qarinah (persangkaan)
5) Surat
6) Keterangan Ahli
- Alat
Bukti Pengakuan (Iqrar)
Alat bukti pengakuan dalam Peradilan Islam
disebut al iqrar yang artinya ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya
mengaku secara tegas tanpa syarat bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya
adalah benar.[12]
Dasar pengakuan sebagai alat bukti menurut Peradilan Islam adalah Q.S. An Nisa
(4): 135.[13]
Hujjah yang paling kuat adalah pengakuan si
tergugat. Untuk memberikan pengakuan, maka hendaklah orang yang memberikan
pengakuan itu dalam keadaan berakal, baligh, tidak dipaksa, dan bukan orang di
bawah pengampuan (curatele). Oleh karenanya, pengakuan orang-orang dipaksa,
anak kecil, orang gila dan sebagainnya, tidaklah dianggap sah.
Walaupun pengakuan ini, dipandang sebagai
hujjah yang paling kuat, namun terbatas hanya mengenai diri si yang memberi
pengakuan saja, tidak dapat mengenai diri orang lain. Pengakuan dapat dilakukan
dengan ucapan lidah, dapat pula dilakukan dengan isyarat oleh orang yang tidak
bisa berbicara, asal isyaratnya itu dapat diketahui umum, dan tidak dalam
masalah zina dan sepertinya. Menurut hukum asal, apabila si tergugat sudah
mengaku, maka hakim dapat memutuskan perkara dengan memenangkan si penggugat
tanpa perlu mendengar keterangannya lagi. Dalam pada itu, para fuqaha
mengecualikan beberapa masalah. Dalam masalah-masalah itu, masih diperlukan
bukti-bukti dari si penggugat walaupun sudah diberikan pengakuan dari si
tergugat, untuk menghilangkan kemelaratn-kemelaratan yang timbul pada sesuatu
pihak. Umpamanya, apabila seorang waris mendakwa bahwa si mati ada hutang
padanya dan dakwaan itu dibenarkan oleh salah seorang waris yang lain. Dalam
hal ini, waris pertama, harus memberi bukti walaupun sudah diakui oleh salah
seorang waris yang lain, karena haknya mengenai seluruh harta peninggalan.[14]
Dalam sejarah Peradilan Islam penerapan alat
bukti iqrar dapat dilihat sewaktu Rasulullah saw. di dalam masjid, telah
dating seorang laki-laki Muslim. Ia berseru kepada Rasulullah. Ya Rasulullah,
sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah berpaling daripadanya. Orang itu
kemudian berputar menghadap Rasulullah dan berkata: Ya Rasulullah, saya telah
berzina. Rasulullah berpaling daripadanya hingga orang itu mengulangi yang
demikian itu sebanyak empat kali. Tatkala orang itu telah saksikan kesalah
dirinya empat persaksian (maksudnya empat kali mengaku), Rasulullah
memanggilnya dan bertanya: Apakah anda tidak gila? Orang itu menjawab, tidak.
Tanya Rasulullah lagi, apakah anda sudah kawin? Orang itu menjawab, sudah. Maka
Rasulullah saw. bersabda: Bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia.[15]
- Alat
Bukti Kesaksian
Saksi ialah orang memberikan keterangan di muka
sidang pengadilan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang suatu
peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti
terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut,.Kata saksi terampil dari kata
musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang
dimaksudkan di sini adalah manusia hidup.
Alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut
dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi wanita) yang
terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata
kepala sendiri. Jadi saksi dimaksudkan adalah manusia hidup.[16]
Bayyinah dalam fuqaha, sama dengan syahadah
(kesaksian). Tetapi Ibn Al-Qayyim memaknakan bayyinah dengan segala
yang dapat menjelaskan perkara. Sedang syahadah, ialah: mengemukakan syahadah (kesaksian)
untuk menetapkan hak atas diri orang lain.[17]
Dalam pandangan Islam, saksi termaksud hal
penting dalam penegakan kebenaran dan keadilan. Karena itu Allah swt.melarang
seorang saksi berlaku enggan atau menolak memberi keterangan apabila ia
diminta. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 282.[18]
Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi
saksi. Namun demikian untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada
orang-orang tertentu oleh undang-undang tidak dapat diperkenangkan menjadi
saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan
para pihak,atau keadaan tartentu. Orang tidak boleh didengar sebagai saksi
ialah:[19]
1. Keluarga
sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah.
2. Istri
atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai.
3. Anak-anak
yang tidak diketahui benar usianya cukup 15 tahun.
4. Orang
gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan terang.
Sejalan dengan maksud undang-undang di atas,
Nabi saw. telah memperingati agar tidak mengangkat saksi orang penghianat,
orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya, dan pembantu terhadap
tuannya.
Syarat keislaman sebagai syarat umum yang
ditetapkan fuqaha. Pada perinsipnya, seorang non-muslim tidak boleh menjadi
saksi terhadap orang muslim. Namun dalam situasi tertentu seperti tidak adanya
saksi selain non-muslim tersebut, maka menurut Imam Ahmad, itu dapat di terima.
Adapun pendapat sebagai
ulama lainnya menyebutkan kesaksian seorang non-muslim terhadap orang Muslim
tidak dibolehkan dalam urusan atau perkara yang termaksud hukum keluarga (ahwal
asy-syakhshiyah), seperti ditunjuk dalam Q.S. al-Thalaq (65): 2[20], tetapi diperbolehkan
kesaksiannya dalam perkara perdata selain dari itu.
Dengan kesaksian yang cukup syarat, nyatalah
kebenaran bagi hakim dan wajiblah dia memutuskan perkara sesuai dengan
kesaksian itu. Para fuqaha telah menerangkan syarat-syarat yang wajib sempurna
pada kesaksian supaya kesaksian itu harus diterima dan mesti dipergunakan.
Demikian pula mereka talah menerangkan tentang orang-orang yang diterima
kesaksiannya dan orang-orang yang ditolak kesaksiannya, tentang hukum berbeda
kesaksian dari gugatan, tentang perbedaan para saksi satu sama lain, hukum
mencabut kesaksian, menyuruh saksi bersumpah dan hal-hal yang diterima
kesaksiannya dengan cara mendengar. Demikian pula hukum bertentangan antara
satu saksi dengan lain yang diajukan oleh dua orang penggugat yang
masing-masingnya mengemukakan saksi.
Fiqh Islam, menurut pendapat yang dipegang oleh
jumhur fuqaha, menerima baiyyinah syakhshiyah, atau syahadah dalam
segala macam keadaan. Akan tetapi dengan ada ketentuan-ketentuan dan ada
batas-batasnya, berdasarkan perbedaan mazhab dan perkara yang dihadapi. Para
fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini diperlukan bilangan. Karena hal
ini merupakan satu urusan ibadah. Walaupun sebenarnya menurut logika, kebenaran
itu berdasar kepada keadilan dan kejujuran yang memberikan kesaksiannya, bukan
kepada bilangan.[21] Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Nisa (4):
15.[22]
- Alat
Bukti Sumpah
Sumpah menurut bahasa hukum Islam disebut al
yamin atau al hilf tetapi kata al yamilebih umum dipakai.[23]
Menurut hadis Rasulullah sebagaimana sudah
diungkapkan pada Asas pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pihak
yang menuntut hak dibebankan untuk membuktikan sedangkan pembuktian
pengingkaran (negatife) dari pihak yang dituntut adalah dengan sumpah. Ini
menunjukkan bahwa hukum asal sumpah itu adalah hak dari pihak yang digugat/dituntut.[24]
Alat bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri,
artinya hakim tidak bisa memutus hanya semata-mata berdasarkan pada sumpah
tanpa disertai oleh alat bukti lainnya.
Sumpah sebagai suatu jalan untuk menetapkan
hukum, adalah jalan yang sudah paling tua di dunia ini. Sumpah ini
memperingatkan yang bersumpah kepada Allah yang menyuruhnya berlaku benar dan
berjalan lempang. Maka pada asalnya sumpah itu merupakan hujjah yang kuat,
karena orang yang bersumpah mengingta dosa-dosa yang akan dipikulnya nanti. Tetapi
di dalam pengalaman sehari-hari, nyata bahwa sumpah, adalah suatu hujjah yang
lemah. Hanya dipergunakan di waktu tidak sanggup membuktikannya. Orang-orang
yang diminta bersumpah sering-sering dengan serta merta memenuhi permintaan
itu.[25]
Di dalam Al Majallatul Adliyah diterangkan,
bahwa tidak dapat seorang disuruh bersumpah, terkecuali dengan permintaan pihak
lawan berperkara. Akan tetapi hakim dapat menyuruh bersumpah salah satu pihak,
tanpa diminta oleh yang bersangkutan pada beberapa kondisi antara lain:[26]
a. Apabila seorang
waris mengatakan, bahwa dia masih mempunyai hak dalam harta peninggalan si mati
dan dia membuktikan kebenaran pendakwaannya, maka hakim boleh menyuruh dia
bersumpah untuk membuktikan bahwa dia belum menerima bagiannya.
b. Apabila sorang berhak
menerima sejumlah harta dan dia membuktikan kebenaran pendakwaannya, maka hakim
boleh menyuruhnya bersumpah untuk membuktikan bahwa dia tidak menjual harta
itu, tidak menghibahkan kepada seseorang dan belum keluar dari miliknya.
c. Apabila si pembeli mau
mengembalikan barang dagangan yang dibeli lantaran ada cacat, maka hakim boleh
menyuruhnya bersumpah, bahwa dia tidak menyukai cacat itu, baik secara tegas
maupun secara dalalah.
Alat bukti sumpah ini dapat dilihat pada kisah
ketika Nabi saw. pernah menanyakan kepada seorang penggugat: Apakah anda
mempunyai saksi? Orang itu menjawab: tidak. Maka Nabi mengatakan kepada si
tergugat supaya bersumpah. Si penggugat berkata: tentu saja dia mau bersumpah.
Mendengar itu Nabi pun bersabda: “Tak ada bagi anda selain daripada ini, saksi
pihakmu atau sumpah si tergugat”.[27]
- Alat
Bukti Qarinah (persangkaan)
Alat bukti persangkaan yang dalam hukum acara peradilan
Islam disebut al-qarain. Qarinah menurut bahasa artinya hubungan atau
pertalian. Qarinah yang dimaksudkan di sini sebagaimana menurut istilah hukum
ialah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa
terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk. Hanya qarinah yang jelas saja (al
qara’in al wadihah)yang dapat dijadikan sebagai alat bukti. Dalam lingkungan
Peradilan Umum pidana alat bukti ini disebut “petunjuk-petunjuk”dihah)
Islam memandang qarinah atau persangkaan
sebagai salah satu alat bukti. Rasulullah saw. sering menggunakan qarinah
sebagai dasar putusannya, sebagaimana beliau pernah menahan dan menghukum
tertuduh setelah timbul persangkaan karena nampak tanda-tanda mencurigakan pada
diri tertuduh. Begitu pula Nabi saw. pernah memerintahkan orang yang menemukan
suatu barang agar menyerahkan barang temuannya itu kepada orang yang ternyata
tepat dalam menyebutkan sifat-sifat barangnya yang hilang. Demikian pula beberpa
contoh qarinah dapat ditemukan dalam Alquran misalnya:
a.
Kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf (12): 23-28.
Ketika Qitfir, suami
Zulaikha pergi, Zulaikha mengajak dan memaksa Yusuf untuk berbuat mesum tetapi
Nabi Yusuf tidak mau, lalu berlarilah Nabi Yusuf menuju pintu untuk keluar dari
rumah. Tiba di pintu, baju Nabi Yusuf ditarikkan oleh Zulaikha dari belakang
sehingga koyak, dan tepat waktu itu suaminya tiba dari bepergian. Karena tertangkap basah, Zulaikha mengadu
kepada suaminya bahwa Nabi Yusuf mengajaknya dan memaksanya untuk berbuat
mesum. Pada saat yang kritis itu, bersuara (berkatalah) seorang bayi (yang
masih dalam buaian) dari keluarga Zulaikha: “Jika baju Yusuf koyak di bagian
depan berarti Yusuflah yang salah, tetapi jika koyak di bagian belakang berarti
Yusuflah yang benar”. Lantas suami Zulaikha melihat kepada baju Yusuf, ternyata
koyak di bagian belakang, berarti Yusuflah yang benar. Lalu Yusuf disuruh
rahasiakan hal itu ke luar (karena malu) dan Zulaikha disuruh oleh suaminya
untuk bertobat dan meminta ampun kepada Allah.[28]
b.
Cerita di zaman Nabi Sulaiman dan Nabi Daud.
Ada dua orang perempuan yang bersengketa
memperebutkan seorfang anak, perempuan yang satunya agak muda dan yang satunya
lagi agak tua. Nabi Daud mengadilinya dengan memenangkan perempuan tua
berdasarkan pengakuannya. Nabi Sulaiman yang turut hadir di majelis pengadilan itu
minta sebilah pedang dan berpura-pura bertindak akan membelah dua anak tersebut
sambil berkata, itulah yang adil. Perempuan yang tua menyetujui tetapi
perempuan yang muda sambil bersembah ia mengatakan bahwa ia rela anak itu
diserahkan kepada perempuan yang tua asal tidak dibelah dua, sebab anak itu
akan mati. Nabi Sulaiman memutuskan anak itu adalah anak dari perempuan yang
muda tersebut.[29]
c.
Nabi Muhammad saw. pernah pula menggunakan qarinah itu
dalam beberapa hal, diantanya memberikan hilang yang diketemukan kepada orang
yang dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari barangnya itu.[30]
d.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum had
seorang perempuan hamil padahal ia tidak bersuami dan bukan pula hamba sahaya
(yang boleh dicampuri oleh Tuannya).[31]
e.
Amr bin Mas’ud menjatuhkan hukum had kepada
seorang yang dari mulutnya keluar bau bekas minum khamar.[32]
Menurut Roihan A. Rasyid, kriteria al qara’in
al wadihah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti memiliki kriteria sebagai
berikut:[33]
a. Qarinah yang karena demikian
jelas dan meyakinkan tidak akan patut dibantah lagi oleh manusia
normal/berakal, dapat dikategorikan sebagai al qara’in al wadihah dan dapat
dijadikan dasar pemutus walaupun hanya atas satu qarinah wadihah, tanpa
didukung oleh bukti lainnya.
b. Semua persangkaan
menurut undang-undang di lingkungan Peradilan Umum, sepanjang tidak jelas-jelas
bertentangan dengan dengan hukum Islam, dapat dianggap qarinah wadihah.
c. Qarinah lain-lainnya
tidak termasuk qarinah wadihah dan tidak termasuk alat bukti.
- Alat
Bukti Surat
Alat bukti surat atau tertulis adalah segala
sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi
hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian.
Rasulullah saw. mengangkat beberapa penulis
wahyu untuk menuliskan wahyu-wahyu yang turun kepada beliau. Rasulullah juga
menyuruh sahabatnya menuliskan beberapa peristiwa penting lainnya, seperti
perjanjian Hudaibiyah antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Makkah. begitu
pula Al-Qur’an telah memerintahkan orang beriman untuk menuliskan transaksi
yang terjadi di antara manusia, sebagaimana termuat dalam Q.S. Al-Baqarah (2);
282.[34]
Ringkasnnya, Islam menetapkan perlunya
mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi di antara manusia. Karena itu sangat beralasan kalau
tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti. Dalam sejarah
Peradilan Islam dapat ditelusuri bentuk alat bukti surat dalam hal ini dalam
hal wasiat pada kisah Saad bin Abi Waqqas ketika mengadu kepada Rasulullah saw.
Saad berkata: Ya Rasulullah, saya mempunyai harta dan saya tidak ada ahli waris
melainkan hanya seorang anak perempuan. Apakah boleh saya bersedekah (maksudnya
berwasiat) dua pertiga harta saya? Rasulullah bersabda: Tidak. Dan kemudian
Saad bertanya lagi, bolehkah saya berwasiat sepertiganya? Rasulullah menjawab:
boleh sepertiga tetapi itupun sudah terlalu banyak. Sesungguhnya engkau
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada engkau
tinggalkan mereka dalam keadaan papa, meminta ke sana ke mari sesama manusia.[35]
- Alat
Bukti Keterangan Ahli
Bantuan dari orang ketiga, yaitu dari orang
yang ahli pada bidangnya untuk memperoleh kejelasan objektif bagi hakim atas
suatu peristiwa yang dipersengketakan dalam suatu perkara, disebut “keterangan
ahli” atau ada juga yang menyebutnya dengan “saksi ahli”.
Jika hakim menggunakan saksi ahli dalam
pengusutan masalah persidangan dan kemudian hakim setuju dengan pendapat ahli
tersebut, maka pendapat ahli itu diambil oper oleh hakim dan dianggap sebagai
pendapatnya sendiri untuk dapat dijadikan dasar pemutus.[36]
Dalam sejarah Peradilan
Islam tepatnya di masa Khalifah Umat ibn Khattab, penggunaan alat bukti
keterangan ahli pernah dilakukan dalam sebuah perkara pemfitnahan yang diajukan
ke depan sidang pengadilan Khalifah oleh Zibriqan bin Bard terhadap seorang
penyair Hutaya, yang menuduh bahwa salah satu syairnya yang diciptakan oleh
penyair itu merupakan sebuah fitnah. Karena tuduhan tentang pemfitnahan itu
berkaitan dengan syair, maka Khalifah mengundang penyair lain dan meminta
pendapatnya tentang masalah itu, dan kemudian ia memutuskan kasus menurut
pendapat ahli tersebut.[37]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pembuktian adalah upaya
para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau
kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti
yang telah ditetapkan.
2. Tujuan dari
pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam
hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan
kepentingan terdakwa.
3. Beban pembuktian
sesewaktu kepada penggugat dan sesewaktu kepada tergugat karena asas pembuktian
mengatakan bahwa Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak
orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya
hak itu atau adanya peristiwa tersebut. Dengan adanya pembuktian, hakim akan
mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di
pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka diketahui tentang apa yang
harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang
tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.
4. Alat bukti yang
terpokok atau hujjah-hujjah syar’iyah yang diperlukan dalam soal
gugat-menggugat serta yang sering digunakan dalam Peradilan Islam, yaitu: Iqrar
(pengakuan), Syahadah (kesaksian), Yami>n (sumpah), Qari>nah
(persangkaan), Surat dan Keterangan Ahli.
B.
Implikasi
Suatu perkara di Pengadilan tidak dapat diputus
oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan
penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh
hakim tetapi putusan yang menolak gugatan karena tidak ada bukti. Maka dari
itu, mengerti lebih baik tentang pembuktian beserta alat-alat bukti yang ada
dengan pendalaman pendekatan sejarah Peradilan Islam akan membawa kita pada
pemahaman hukum yang objektif.
[1] Tengku HM. Hasbi Ash- Shiddieqy,
Peradilan dan Hukum Acara Islam (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),
h. 127.
[3]Yahya Harahap dalam Abdul Mannan, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet.IV; Jakarta: Kencana,
2006), h. 227.
[5] Asas equality before the law berarti adanya
perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan. Lihat Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara
Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat (Jakarta: Djambatan, 2005),
hal. 3-4.
[6] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) (Cet. 33; Jakarta: Pradnya
Paraminta, 2003), h. 475.
[10] Abdul Azis Dahlan [et al.], Ensiklopedi Hukum
Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 206.
[12]Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama
(Cet. VIII; Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 170.
[13]Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan.
[20] Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan
baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan
baginya jalan keluar.
[22]Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
[28] Lihat QS. Yusuf (12): 23-28, Departemen Agama
RI, Alquran dan Terjemahannya (Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004), h. 239.
[31]Jalal
ad Din as Suyuty, Muwatta’ Imam Malik jilid II (Mesir: Mustafa Al Baby al
Halaby, 1951), h.168.
[34] Q.S.al-Baqarah (2); 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (seperti jual-beli,
sewa-menyewa, utang-piutang) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentakan,
hendaknnya kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis , danhendaklah
orang yang berutang itu mengimlakkan(apa yang akan di tulis itu), dan hendaklah
ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya….
[37]Anwar
Ahmad Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan dalam Sejarah
Pemerintahan Muslim (Cet. I; Yogyakarta: PL2PM, 1987), h. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar