Sabtu, 05 April 2014

FIQH MUNAKAHAT-MAKALAH UNDANGAN DAN PESTA PERKAWINAN (WALIMATUL 'URUSY)

MAKALAH UNDANGAN DAN PESTA PERKAWINAN (WALIMATUL 'URUSY) 

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dikalangan masyarakat itu terdiri dari keluarga yang meliputi Bapak, Ibu, dan anak-anaknya. Terbentuknya sebuah keluarga di awali dari pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Nah dalam melaksanakan acara pernikahan itu biasanya dirayakan dengan acara yang berbagai macam jenis tergantung keinginan sang penganten dan adat istiadat setempat.
Acara yang dilaksanakan tersebut dalam ilmu fiqih disebut “walimah ursy” dalam kehidupan kemasyarakatan banyak berbagai ragam ragam suku dan kebiasaan yang di anut. Salah satunya acara pernikahan yang merupakan acara yang sakral pun berbeda-beda bentuk dan kebiasaannya. Namun yang sering kita temui di kalangan masyarakat kita menemui walimah dilaksanakan dengan bentuk yang mewah atau besar-besaran. Walaupun kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga pada saat itu. Maka dari itu, fiqih dengan bijaksana membahas tentang masalah ini. Agar masyarakat tidak salah dalam penafsirkan walimah ini, dan agar masyarakat bisa lebih memahami dan mendalam tentang walimah
  
1
BAB II
PEMBAHASAN

UNDANGAN DAN PESTA PERKAWINAN (WALIMAH URUSY)[1]

  A.    Pengertian Walimah
Dari segi bahasa, walimah diambil dari kata ‘walm’, artinya ‘perkumpulan’, karena saat itu kedua mempelai berkumpul. Orang arab biasa berkata, “aulama ar-rajulu.” (pria itu cerdas dan berakhlak), bil kecerdasaan dan akhlak yang baik berkumpuldalam diri pria tersebut. Sedangkan secara istilah, walimah artinya makanan yang disajikan sebagai tanda kebahagiaan dalam resepsi pernikahan, akad nikah, dan sebagainya.
  B.     Dasar Hukum Walimah
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunah mu’akkad. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
“Dari Anas, ia berkata “Rasulullah SAW. belum pernah mengadakan walimah untuk istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk Zainab, beliau mengadakan walimah untuk untuknya dengan seekor kambing.” (HR Bukhori dan Muslim)
            Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga bersabda:
“Dari Buraidah, ia berkata, “Ketika Ali melamar Fathimah, Rasulullah SAW. bersabda, “sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.” (HR Ahmad)
            Dari hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh Nabi SAW. bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.
2
  C.     Hukum Menghadiri Undangan Walimah
Orang yang diundang dalam acara walimah wajib datang. Memenuhi undangan walimah hukumnya frdhu ’ain, baik sedang puasa maupun tidak.hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “jika seorang dari kalian diundang walimah maka hadirlah,” (HR. al-Bukhori dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, “jika seorang dari kalian diundang maka penuhilah. Jika sedang berpuasa, doakanlah,[2] dan jika sedang berbuka maka makanlah,” (HR. Muslim). Dalam redaksi muslim berbunyi, “jika dia ingin (makan), dia boleh makan; dan jika tidak, dia boleh meninggalkannya.” Al-Bukhori dan Muslim juga meriwayatkan hadits, “sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah yang diperuntukkan bagi undangan orang-orang kaya, dan mengabaikan orang-orang miskin.”
Jika seseorang hadir dalam acara walimah, dia dianjurkan untuk menyantap jamuan yang disediakan, tidak wajib. Jika kebetulan dia berpuasa sunah dan tuan rumah tidak keneratan maka menyempurnakan puasa lebih afdhal baginya. Tapi jika puasanya membuat tuan rumah keberatan maka berbuka lebih afdhal      .
Memenuhi undangan selain walimah pernikahan hukumnya sunnah, menurut pendapat yang shahih. Sebab, dalam Musnad Ahmad, dari al-Hasan al-Bashri disebutkan bahwa Utsman bin Abu Thalhah R.A pernah diundang dalam acara khitanan, tapi dia tidak hadir. Dia beralasan, “pada masa Rasulullah belum pernah ada orang diundang dalam acara khitanan.”
Berangkat dari kesamaan pria dan wanita, wanita juga wajib memenuhi undangan, asal dia tidak datang berdua dengan pria lain (non mahram), atau undangan tersebut bersifat umum untuk keluarga, sanak kerabat, maupun rekan kerja.
Apabila lima syarat berikut terpenuhi maka mendatangi undangan walimah nikah hukumnya wajib. Namun untuk undangan di luar waliamah nikah, enam syarat ini hanya menimbulkan hukum sunah. Enam syarat itu adalah:

3
  1.      Undangan tersebut tidak dikhususkan bagi kalangan berada, tanpa memperhatikan kaum dhuafa, berdasarkan hadits didepan, “sejelek0jelek makanan....”
  2.      Tuan rumah mengundang pada hari pertama acara. Apabila dia mengadakan walimah selama tiga hari, lalu mengundang pada hari kedua maka orang yang diundang  tidak wajib datang. Jika dia mengundang pada hari ketiga, makruh hukumnya memenuhi undangan ini. Rasulullah SAW bersabda, “untuk jamuan walimah, jamuan hari pertama adalah hak, jamuan hari kedua adalah sunah, dan jamuan hari ketiga adalah sum’ah. Barangsiapa melakukan sum’ah, Allah akan menyiarkan aibnya.”[3]
  3.      Shahibul hajat mengundang bukan karena takut kehilangan atau mengharapkan jabatan tertentu. Jika dia mengundang dengan dua alasan tersebut, orang yang diundang tidak wajib datang.
  4.      Poin ini memuat dua syarat, yaitu ditempat walimah tidak ada pihak yang dapat menyakiti orang yang diundang, seperti musuh, atau orang yang patut bersanding dengannya, misalnya orang yang berperangai rendah, demi menghindari mudhrat duniawi maupun ukhrawi.
  5.      Tidak ada kemungkaran ditempat walimah, misalnya nyanyian, minuman keras, permadani sutra bagi undangan pria, patung, atau lukisan manusia atau makhluk hiduplainnya yang dipasang di atap, atau dinding rumah, bantal, kelambu, atau pakaian yang bertuliskan sesuatu yang mungkar, dan lain sebagainya.

Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:
a.       Tidak ada udzur Syar’i
b.      Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar.
c.       Tidak membedakan kaya dan miskin.

Dasar hukum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah hadits Nabi SAW. Sebagai berikut:
“Jika salah seorang diantara kamu diundang makan, hendaklah diijabah (dikabulkan, jika ia menghendaki makanlah, jika ia menghendaki tinggalkanlah.” (HR Bukhari dan Ahmad).[4]
            Dari AbuHurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW. Telah bersabda:
Andai kata aku diundang untuk makan kambing, niscaya aku datangi, dan anadai kata aku dihadiahi kaki depan kambing, niscaya aku terima.” (HR Bukhari).[5]
            Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu, maka tidak untuk mendatangi, tidak juga sunah. Misalnya orang yang mengundang berkata, “Wahai orang banyak! Datangilah setiap orang yang kamu temui.”
            Ada ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ulama yang mengatakan sunah, akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ulama, adalah sunah muakkad. Sebagian golongan Syafi’i berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa pendapat ini dari jumhur Sahabat dan Tabi’in, karena hadits-hadits diatas memberikan penggertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan mempelai maupun walinya.
            Secara rinci, undangan itu wajib didatangi, apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
  a.       Pengundangnya mukallaf, merdeka dan berakal sehat.
  b.      Undangannya tidak dikhususkan kepada orang-orang kaya saja, sedangkan orang miskin tidak.
  c.       Undangan tidak ditujukan hanya kepada orang yang disenangi dan dihormati.
  d.      Pengundangnya beragama Islam (pendapat yang lebih sah)
  e.       Khusus pula dihari pertama (pendapat yang terkenal).
5
f.       Belum didahului oleh undangan lain. Kalau ada undangan lain, maka yang pertama harus didahulukan.
  g.      Tidak diselenggarakan kemungkaran dan hal-hal lain yang menghalangi kehadirannya.
  h.      Yang diundang tidak ada udzur syarak.
Memerhatikan syarat-syarat tersebut, jelas bahwa apabila walimah dalam pesta perkawinan hanya mengundang orang-orang kaya saja, hukumnya adalah makruh.
Nabi Muhammad SAW. Bersabda
“dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda, “Makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang kepadanya (kaya). Barangsiapa tidak menghadiri undangan, maka sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR Muslim)
            Dalam riwayat lain juga disebutkan;
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin.
  D.    Macam-macam Walimah
Memberi hidangan dengan mengundang orang banyak ada sembilan macam; (1) Walimah untuk acara pengantinan (asy-syafi’i dan para pengikutnya berpemdapat bahwa sebutan “walimah”  diperuntukkan pada acara yang diadakan sebagai wujud kebahagiaan atas pernikahan atau khitan atau acara lainnya. Namun demikian, penggunaan kata “walimah” biasa digunakan untuk pengertian walimah urusy); (2) khars, yakni makanan yang disajikan untuk para undangan pada peristiwa persalinan; (3) makanan yang disajikan untuk para undangan pada acara bayi yang baru lahir dinamakan aqiqah; (4) i’dzar, walimah khitan atau lainnya; (5) wakirah (diambil dari kata al-wakr, artinya tempat kembali), yakni acara syukuran setelah membangun rumah (atau pindah rumah-pen); (6) naqi’ah, acara penyambutan orang yang pulang dari perjalanan jauh (musafir); (7) wadhimah, acara yang diadakan karena ada musibah; (8) imlak, acara makan-makan pada acara perkawinan, dinamakan juga walimah syandaghi; dan (9) ma’dubah, acara yang diadakan tanpa ada sebab tertentu.
6
  E.     Hikmah Walimah
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mampunyai beberapa keuntungan (hikmah); antara lain sebagai berikut:
1.      Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT.
2.      Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3.      Sebagai tanda resminya adanya akad nikah.
4.      Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri.
5.      Sebagi realisasi arti sosiologi dari akad nikah.
6.      Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kesua mempelai.
Disamping itu, dengan adanya walimatul ‘urusy kita dapat melaksanakan perintah Rasulullah SAW, yang menganjurkan kaum muslimin untuk melaksanakan “Walimatul ‘urusy” walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing.

7
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
walimah artinya makanan yang disajikan sebagai tanda kebahagiaan dalam resepsi pernikahan, akad nikah, dan sebagainya. Sedangkan hukum menghadiri undangan walimah adalah ada ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ulama yang mengatakan sunah, akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ulama, adalah sunah muakkad. Sebagian golongan Syafi’i berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa pendapat ini dari jumhur Sahabat dan Tabi’in, karena hadits-hadits diatas memberikan penggertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan mempelai maupun walinya.
Hikmah walimah adalah merupakan rasa syukur kepada Allah SWT, tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya, sebagai tanda resminya adanya akad nikah, sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri, sebagi realisasi arti sosiologi dari akad nikah,sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kesua mempelai.
  
8
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah “Fiqih Imam Syafi’i 2” Jakarta: Almahira, 2010
Tihami dan Sohari Sahrani “Fikih Munakahat” Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Hakim, Rahmat “Hukum Perkawinan Islam” Bandung: Pustaka Setia, 2000
Mahrus, Ali Terjemahan Bulughul MaraSurabaya: Mutiara Ilmu, 1995)
Abdul Mujieb, M., (et.al). Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke-1
Abidin, Slamet, Drs., dan Aminuddin. Fiqh Munakahat. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, cet, ke-1, jilid 1 dan 2
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqh Lima Mazhab (Ja’fariyah, Hanafy, Maliky, Syafi’y, Hambaly). Jakarta: Lentera, 2001, edisi lengkap.
Muhammad bin Issmail al-Kahlaniy. Subul al-Salam: Dahlan. Bandung, tth, jilid 3.
Nu, Djamaan, H. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama (Toha Putra Grup), 1993, cet. ke-1.
Gazalba, Sidi. Menghadapi Soal-soal Perkawinan. Jakarta: Pustaka Antara PT, 1975

iii



[1]. Lihat Mughni al-Muhtaj, jilid III, hlm. 245-250; al-Muhadzdzab, jilid II, hlm. 63-65; Kifayah al-Akhyar, hlm. 124-131; Anwar al-Masalik, hlm. 400-402; Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Tuhfah ath Thullab, jilid II, hlm. 275-280.
[2]. Maksudnya, mendoakan shahibul hajat agar mendapat ampunan, berkah dan jenisnya.
[3]. HR. at-Tirmidzi. Dia menilai hadits ini gharib. Para periwayatnya adalah periwayat ash-shahih. Hadits ini mempunyai syahid dari Anas riwayat Ibnu Majah.
[4]. Kamal Mukhtar, Op. Cit., hlm. 109.
[5].  Slamet Abidin dan H. aminuddin, Op.Cit., hlm. 153.

1 komentar:

  1. salam dari mahasiswa ahwal al-syakhsiyah sumbar stain batusangkar

    BalasHapus