Senin, 07 April 2014

ILMU FALAK-MAKALAH PERHITUNGAN IJTIMA' AWAL BULAN HIJRIAH

MAKALAH PERHITUNGAN IJTIMA' AWAL BULAN HIJRIAH

BAB I
PENDAHULUAN

  A.    Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa penanggalan Hijriah pada hakikatnya menggunakan refrensi peredaran bulan, ini lain halnya dengan penanggalan Masehi yang menggunakan refrensi peredaraan matahari sebagai acuan.
Perbedaan variabel hasil ini tidak lain disebabkan banyaknya metode, data hisab serta kriteria yang digunakan. Secara rasional, dari metode dan data yang berbeda pasti akan diperoleh hasil yang berbeda pula. Oleh karena itu, beralih dari polemik yang cukup besar, secara umum dalam hisab kontemporer, untuk menentukan awal bulan Kamariyah dibutuhkan beberapa langkah untuk mendapatkan hasil. Diantaranya, melakukan konversi dari tanggal Hijriah ke Masehi secara urfi, hal ini dilakukan untuk memperkirakan kapan ijtima’ itu akan terjadi. Tentunya bagi bagi orang awam, istilah ijtima’ ini menjadi persoalan yang butuh jawaban. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini akan sedikit dibahas istilah ijtima’ serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtima’.
  B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat kami spesifikasikan menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya sebagai berikut:
  1.      Apa pengertian ijtima’?
  2.      Ragam kriteria ijtima’’?
  3.      Persoalan penentuan awal bulan hijriah
  4.      Contoh perhitungan ijtima’ awal bulan hijriah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtima’
Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat kata Ijtima’ disebut juga dengan istilah Iqtiran yaitu pertemuan atau berkumpulnya (berimpitnya) dua benda yang berjalan secara aktif. Dalam redasksi lain, Ilyasyahri Nawawi memberikan definisi Ijtima’ yaitu berkumpulnya matahari dan bulan pada satu bujur astronomi دائرة البروج.
Muhyiddin Khazin, memberikan elaborasi tentang Ijtima’ dalam bukunya Ilmu Falak; Teori dan Praktek bahwa, kata Ijtima’ disebut juga Iqtiran yaitu ‘bersama’ atau ‘kumpul’, yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam istilah astronomi kata Ijtima’ dikenal juga dengan nama Conjunction (Konjungsi) atau New Moon. Dalam buku Almanak Hisab Rukyat Departemen Agama, kata Ijtima’ yang disebut juga dengan istilah Iqtiran, yaitu apabila matahari dan bulan berada pada bujur astronomi
دوائر البروج yang sama. Dalam dunia astronomi, Ijtima’ dikenal juga dengan istilah Konjungsi (Conjuction). Oleh para ahli hisab, Ijtima’ dijadikan pedoman untuk menentukan masuknya bulan baru kamariyah, sehingga dalam ilmu hisab Ijtima’ disebut juga dengan إجتماع النيرين. Bila dikaitkan dengan bulan baru kamariah, Ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan baru dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.
Berdasarkan pengertian di atas, sedikit menggarisbawahi, bahwa Ijtima’ adalah suatu istilah dalam ilmu falak, istilah itu diambil dari bahasa Arab yang mempunyai arti ‘berkumpul’, istilah lain untuk pengertian yang sama adalah Iqtiran, dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal pula dengan sebutan ‘Konjungsi’ yang diambil dari bahasa Inggris ‘Conjunction’. Dalam prosesnya, Ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat. Fenomena Ijtima’ terjadi pada saat matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis atau satu bidang yang tegak lurus bidang ekliptika (bulan berada diantara matahari dan bumi), kejadian ini berlangsung pada saat fase bulan mati. Kita tahu perjalanan matahari lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan bulan setiap harinya. Keduanya setiap saat kita saksikan dari bumi bergerak dari arah timur menuju arah barat dengan kecepatan yang berbeda. Proses Ijtima’ bisa kita ibaratkan dengan dua buah jarum jam yang terus-menerus bergerak berputar mengelilingi piringan jam tersebut. Karena kecepatan kedua jarum ini tidak sama maka suatu ketika pasti keduanya akan mengalami peristiwa yaitu bertemunya kedua jarum jam tersebut pada posisi yang sama pada suatu waktu dan tempat tertentu. Peristiwa yang sama juga pasti dialami oleh dua makhluk yang kita sebutkan di atas, yaitu Bulan dan Matahari. Peristiwa terjadinya fenomena yang hanya memerlukan waktu sepersekian detik ini dikenal dengan sebutan Ijtima’, Muhaq, Iqtiran, Konjungsi, Bulan Mati, atau New Moon.
Sebenarnya bila diteliti, ternyata jarak antara kedua benda planet itu berkisar sekitar 50 derajat. Dalam keadaan Ijtima’ pada hakikatnya masih ada bagian bulan yang mendapat pantulan sinar dari matahari, yaitu bagian yang menghadap bumi. Namun kadang kala, karena sangat tipis, hal ini tidak dilihat dari bumi, karena bulan yang sedang berijtima’ itu berdekatan letaknya dengan matahari. Kondisi ini dipengaruhi oleh peredaran masing-masing planet pada orbitnya. Bumi dan bulan beredar pada porosnya dari arah barat ke timur.
B.     Ragam Kriteria Ijtima’
Setidaknya ada dua aliran besar dalam menetapkan awal bulan kamariyah dengan menggunakan sistem hisab hakiki. Pertama, aliran yang berpegang pada Ijtima’ semata. Kedua, aliran yang berpegang pada posisi hilal di atas ufuk.
1.      Aliran Ijtima’ Semata
Aliran ini menetapkan bahwa awal bulan kamariyah itu mulai masuk ketika terjadinya Ijtima’. Para pengikut aliran ini mengemukakan adagium yang terkenal إجتماع النيرين إسبتوا بين الشهرين “bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah di antara dua Bulan”. Kriteria awal Bulan (New-Moon) yang ditetapkan oleh aliran Ijtima’ semata ini sama sekali tidak memperhatikan rukyah. Artinya tidak mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak. Dengan kata lain, aliran ini semata-mata hanya berpegang pada astronomi murni. Dalam astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak saat matahari dan bulan dalam keadaan Ijtima’. Jadi menurut aliran ini Ijtima’ merupakan pemisah antara dua bulan kamariyah yang berurutan. Waktu yang berlangsung sebelum terjadinya Ijtima’ termasuk bulan sebelumnya. Sedangkan waktu yang berlangsung sesudah Ijtima’ termasuk bulan baru.
Dalam wilayah empirik, jarang sekali ditemukan yang secara murni memegang kriteria ini. Ketika menentukan awal bulan kamariyah, aliran ini biasanya memadukan saat Ijtima’ tersebut dengan fenomena alam lain, sehingga kriteria tersebut di atas menjadi berkembang dan akomodatif. Fenomena alam yang dihubungkan denagan saat Ijtima’ itu tidak hanya satu, sehingga aliran Ijtima’ semata ini terbagi lagi dalam sub-sub aliran yang lebih kecil lagi.
a.       Ijtima’ Qabla al-Ghurub
Aliran ini mengaitkan saat Ijtima’ dengan saat terbenam matahari. Mereka membuat kriteria “jika Ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru (new moon), sedangkan jika Ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.” Aliran ini menetapkan bahwa pergantian hari atau tanggal terjadi pada saat ghurub (terbenam) matahari. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat Yaasin ayat: 40
لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴿٤٠﴾
Artinya; “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya”
Para ahli hisab memahami bahwa ungkapan
وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ menunjukkan bahwa permulaan hari atau tanggal adalah saat terbenam mahari, yakni saat bergantinya siang menjadi malam. Pendapat para ahli hisab ini diperaktekkan juga dengan praktek rukyah yang dilakukan oleh para sahabat pada masa Rasulullah saw. Mereka melakukan rukyah pada saat terbenam matahari. Ini menunjukkan bahwa pergantian hari dan tanggal adalah pada saat terbenam matahari.
Aliran ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asalkan sebelum matahari terbenam sudah terjadi Ijtima’ meskipun hilal masih di bawah ufuk maka malam hari itu berarti sudah masuk Bulan baru.
Dengan demikian, meneurut aliran ini, Ijtima’ adalah pemisah di antara dua bulan kamariyah. Namun karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka jika Ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan jika Ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian akhir dari bulan yang sedang berlangsung.

b. Ijtima’ Qabla al-Fajr
Beberapa orang ahli hisab mensinyalir adanya pendapat yang menetapkan bahwa permulaan bulan kamariyah ditentukan pada saat Ijtima’ dan terbit fajar.
Pendapat ini didasarkan atas pemahaman terhadap firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ ﴿١٨٧﴾    
Artinya; Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Mereka menetapkan kriteria bahwa “apabila Ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah masuk bulan baru dan apabila Ijtima’ terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudah terbit fajar itu masih termasuk hari yang terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Merka juga berpendapat bahwa saat Ijtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan terbenam matahari.
c.       Ijtima’ dan Terbit Matahri
Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi di siang hari maka siang itu, yakni sejak terbit Matahari tersebut maka malamnya sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi sebaliknya jika Ijtima’ terjadi di malam hari maka awal bulan dimulai pada siang hari berikutnya.
d.      Ijtima’ dan Tengah Hari
Kriteria awal bulan menurut kriteria ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi sebelum tengah hari (zawal) maka hari itu sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi jika Ijtima’ terjadi sesudah tengah hari maka hari itu masih masuk bulan yang sedang berlangsung.
e.       Ijtima’ dan Tengah Malam
Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka sejak tengah malam itu sudah masuk awal Bulan. Akan tetapi bila Ijtima’ terjadi sesudah tengah malam maka malam itu masih termasuk bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan (new moon) ditetapkan mulai tengah malam berikutnya.
2.      Ijtima’ dan Posisi Hilal di atas Ufuk
Para penganut aliran ini mengatakan bahwa awal bulan kamariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk. Dengan demikian, secara umum kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan kamariyah oleh para penganut aliran ini adalah: Pertama, awal bulan kamariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’. Kedua, hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam.
Menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai sejak terbenam matahari sama persis dengan aliran Ijtima’ Qabla al-Ghurub. Akan tetapi ada perbedaan yang cukup menonjol dalam menetapkan kedudukan bulan di atas ufuk. Pada Ijtima’ Qabla al-Ghurub sama sekali tidak memperhatikan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari (Sunset). Sedangkan Ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk selalu memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk. Tegasnya, walaupun Ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan kamariyah sebelum diketahui posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari itu.
Apabila pada saat terbenam matahari itu hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak saat itu masuk bulan baru kamariyah, sebaliknya jika pada saat itu hilal masih berada di bawah ufuk maka saat itu masih dianggap sebagai hari terakhir dari bulan kamariyah yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, yang menjadi standar adalah Ijtima’ Qabla Al-Ghurub dan posisi hilal di atas ufuk. Aliran ini kemudian terbagi lagi menjadi tiga cabang. Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda terhadap kriteria posisi hilal di atas ufuk.
a.       Ijtima’ dan Ufuk Hakiki
Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hakiki (true horizon). Adapun dari ufuk hakiki adalah lingkaran bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Sedangkan posisi atau kedudukan hilal pada ufuk adalah posisi atau kedudukan titik pusat bulan pada ufuk hakiki. Jelasnya, menurut aliran ini awal bulan kamariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu titik pusat bulan sudah berada di atas ufuk hakiki.
b.      Ijtima’ dan Ufuk Hissi
Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hissi (astronomical horizon). Adapun pengertian dari ufuk hissi adalah lingkaran pada bola yang bidangnya melalui permukaan bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada garis vertikal dari si pengamat tersebut.
Ufuk hissi dikenal juga dengan istilah horison semu atau astronomical horizon. Bidang ufuk hissi ini sejajar dengan bidang ufuk hakiki, perbedaannya dengan ufuk hakiki terletak pada beda lihat (parallax).
Jelasnya, menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu titik pusat Bulan berada pada ufuk hissi.
c.       Ijtima’ dan Imkanur Rukyat
Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah diperhitungkan untuk dapat dirukyat, sehingga diharapkan awal bulan kamariyah yang dihitung sesuai dengan penampakkan hilal sebenarnya (actual sighting). Jadi yang menjadi acuan adalah penentuan kriteria visibilitas hilal untuk dapat dirukyat.
Para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria visibilitas hilal untuk dirukyat. Di kalangan mereka ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada pula yang menambah kriteria lain, yakni angular distance (sudut pandang / jarak busur) antara Bulan dan Matahari. Kedua kriteria tersebut digunakan secara kumulatif. Konferensi Internasional tentang penentuan awal bulan kamariyah yang diselenggarakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal (cresent visibility) ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05 derajat dan angular distance antara hilal dan matahari 07 derajat sampai 08 derajat. 
  C.     Ijtima’ dalam Penentuan Awal Bulan
Sebagaimana diketahui bahwa perjalanan waktu-waktu di bumi ini ditandai dengan peredaran benda-benda langit, terutama matahari dan bulan. Hal ini secara teologis telah dinyatakan oleh Allah swt dalam al-Qur’an surat Yunus: 5.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٥﴾
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Oleh karena itu, di antara benda-benda langit yang dianggap paling penting menurut ahli falak (astronomi) adalah matahari, bumi dan bulan. Peredaran ketiga benda langit tersebut penting untuk pedoman menentukan awal bulan, bilangan tahun, waktu shalat, dan lain sebagainya. Peredaran bulan mengelilingi bumi menjadi kaedah penyusunan bulan kamariyah sedangkan peredaran bumi mengelilingi matahari menjadi dasar penentuan bulan Syamsiyah dan waktu-waktu shalat.
Pada dasarnya, bulan mempunyai dua gerakan yang penting, yaitu rotasi dan revolusi bulan. Rotasi bulan adalah peredaran bulan pada porosnya dari arah barat ke timur. Satu kali berotasi bulan memerlukan waktu sama dengan satu kali berevolusi mengelilingi bumi. Oleh karena waktu berotasi dan berevolusi sama maka permukaan bulan yang menghadap bumi relatif tetap. Adanya sedikit perubahan pada permukaan bulan karena adanya gerak angguk bulan pada porosnya.
Dalam lintasan bulan terdapat rasi-rasi (gugusan bintang) atau manzilah-manzilah. Bulan melintasi manzilah-manzilah tersebut pada suatu saat berada persis antara bumi dan matahari yaitu saat Ijtma’. Maka seluruh bagian bulan tidak menerima sinar matahari dan sedang menghadap ke bumi. Akibatnya, saat itu bulan tidak tampak dari bumi yang diistilahkan dengan Muhaq atau bulan mati. Begitu bulan bergerak, maka ada bagian bulan yang kelihatan sangat kecil menerima sinar matahari terlihat dari bumi berbentuk sabit (hilal).
Periode Ijtima’ ke Ijtima’ berikutnya disebut sebagai periode bulan Sinodis (Syahr Iqtirani), masa antar dua ijtima’ inilah yang sering disebut sebagai usia bulan yang hakiki. Dalam al-Qur’an, Allah swt menegaskan bahwa jumlah bulan dalam satu tahun terdapat 12 bulan, sebagai berikut:
Artinya; “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
Dari uraian di atas, kemudian muncul paradigma awal bulan kamariyah berdasarkan persepsi yang berbeda-beda. Awal bulan kamariyah menurut ahli hisab adalah adanya hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam sedangkan ahli rukyat memberi ketentuan adanya hilal di atas ufuk pada waktu matahari terbenam dan dapat dirukyat. Adapun pakar astronomi menyayatakan bahwa awal bulan terjadi sejak terjadinya konjungsi (Ijtima’ al-hilal) segaris antara matahari dan bulan. Dengan demikian, awal bulan kamariyah itu terjadi dengan beberapa indikator yang meliputi sudah terjadi Ijtima’, hilal berada di atas ufuk saat matahari terbnam dan hilal tersebut dapat dilihat bagi yang menggunakan sistem rukyat.

  D.    Persoalan Penentuan Awal Bulan Hijriah
Berbeda dengan tiga persoalan sebelumnya, persoalan hisab, rukyah dalam hal penentuan awal bulan hijriah terutama awala bulan ramadhan, syawal, dan dzulhijjah seringkali bermunculan perbedaan, bahkan kadang menyulut permusuhan yang menggoyak jalinan ukhuwah islamiyah. Ini wajar, mengingat dua mazhab dalam hal fiqh hisab rukyah di Indonesia secara institusi selalu disimbolkan pada dua organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia. Dimana Nahdatul Ulama secara institusi disimbolkan sebagai mazhab rukyah sedangkan Muhammadiyah secara institusi disimbolkan sebagai mazhab hisab. Sehingga persoalan yang semestinya klsasik ini menjadi selalu actual terutama disaat menjelang penentu awal bulan tersebut. Melihat fenomena seperti iu, kiranya tidak luput apa yang dikatakan Snouck Hurgronje, seorang orientalis dari Belanda dalam suratnya kepada Gubernur Jendral Belanda :
“Tak usah heran jika di negeri ini hamper setiap tahun timbul perbedaan tentang awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampong-kampung yang berdekatan.”
Persoalan hisab rukyah awal bulan hijriah ini pada dasarnya bersumber pada hadits-hadits hisab rukyah. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami zahir hadits-hadits tersebut sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhizzah harus didasarkan pada rukyah atau melihat hilal yang dilakukan pada tanggal 29-nya. Apabila rukyah tidak berhasil dilihat, naik karena hilal belum bisa dilihat atau karena mendung ( adanya gangguan cuaca ), maka penentuan awal bulan tersebut harus didasarkan istikmal ( disempurnakan 30 hari ). Menurut mazhab ini, rukyah bersifat ta’abbudi-ghair al-ma’qul ma’na. artinya tidak dapat dirasionalkan, sehingga pengertiannya tidak dapat diperluas dan dikembangkan dan hanya terbatas pada melihat dengan mata telanjang. Dengan demikian, secara mutlak perhitungan hisab falaki tidak dapat digunakan. Inilah yang dikenal dengan mazhab rukyah.
Dan ada juga yang berpendapat bahwa rukyah dalam hadits-hadits hisab rukyah termasuk ta’aqquli ma’qul al-ma’na yakni dapat dirasionalkan, sehingga dapat diperluas dan dikembangkan. Jadi, kata rukyah dapat diartikan antara lain dengan “mengetahui” sekalipun bersifat zhanni ( dugaan kuat ) tentang adanya hilal, kendatipun tidak dapat dilihat misalnya berdasarkan hisab falaki. Inilah yang dipakai oleh mazhab hisab.
Disamping itu, ada juga pendapat yang berupaya menjembatani kedua mazhab tersebut, seperti pendapat al-Qalyubi yang mengartikan rukyah dengan “imkan al-ru’yah” ( posisi hilal mungkin dilihat ). Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan rukyah adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan kuat ( zhanni ) bahwa hilal telah ada diatas ufuk dan mungkin dapat dilihat. Karena itu menurut al-Qalyubi, awal bulan dapat ditetapkan berdasarkan hisab qath’i yang menyatakan demikian. Sehingga kaitannya dengan rukyah, posisi hilal dinilai berkisar pada tiga keadaan, yakni :
  a.       Psti tidak mungkin dilihat ( istihalah al-ru’yah ).
  b.      Mungkin dapat dilihat ( imkan al-ru’yah )
  c.       Pasti dapat dilihat ( al-qath’u bi al-ru’yah ).
Begitu pula dalam hal keadaan hilal tidak dapat dirukyah disebabkan gangguan cuaca, mendung misalnya, para ulama juga berbeda pendapat, yang juga berpangkal pada perbedaan kesimpulan terhadap hadits-hadits hisab rukyah dalam hal ini adalah dalam fokus kata faqduru lahu ( maka kadarkanlah ). Menurut mazhab rukyah, kata tersebut harus diartikan “ sempurnakanlah bilangan bulan itu menjadi 30 hari” sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits hisab rukyah yang lain, bahwa manakala hilal tidak mungkin dilihat, maka jalan keluarnya bukan berpegang pada hisab tapi pada istikmal. Sedangkan menurut mazhab hisab, kata tersebut harus diartikan fa’udduhu bi al-hisab ( hitunglah bulan itu berdasarkan hisab ). Dan karena kaitannya dengan masalah memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dan pelaksanaan ibadah haji, kiranya wajar jika persoalan hisab rukyah ini mendapat perhatian lebih dibanding dengan persoalan hisab rukyah yang lain. Sehingga persoalan ini selalu muncul sebagai wacana perbincangan dan perdebatan dalam kalangan ulama menjelang awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Demikianlah seputar persoalan hisap ruyah secara umum. Dari ulasan di atas tampak bahwa persoalan –persoalan hisap rukyah itu secara garis besar dapat dipilih kedalam dikotomi mazhab hisab dan mazhab rukyah. Walaupun dalam persoalan tersebut ada yang sulit untuk dipilah atau disekat secara jelas karena adanya hubungan saling melengkapi, saling melekat , dan saling membutuhkan ( simbiosis mutualistik ). Oleh karena persoalan penentuan awal bulan hijriah lebih berpotensi menimbulkan terjadinya perbedaan antara mazhab rukyah dengan mazhab hisab, wajar jika persoalan penentuan awal bulan hijriah lebih dikenal atau bahkan identik dengan fiqh hisab rukyah daripada lainnya.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Ijtima’ tidak lain merupakan sebuah fenomena alam yang digunakan oleh umat Islam untuk mengetahui kapan dimulainya bulan baru hijriah. Dan fenomena ini terjadi pada saat taqwim bulan (bujur astronomi bulan) bersamaan dengan taqwim matahari (bujur astronomi matahari). Ijtima’ atau dalam istilah bahasa Inggris disebut Conjunction ini terjadi sekali dalam setiap bulan yaitu pada akhir bulan hijriah.
Fenomena ini juga tidak lepas dari persoalan, sebab eksistensinya yang tak dapat diobservasi atau dengan kata lain hanya mampu diperkirakan dengan cara meng-hisab, maka tentunya hasilnya belum tentu sesuai dengan kenyataan.
Oleh karena itu, diharapkan bagi umat Islam agar bersikap bijak dalam menghadapi berbagai perbedaan. Dan diharapkan pula bagi segenap praktisi falak untuk dapat mengkonsepsikan metode hisab yang paling kontemporer dan kriteria hilal yang rasional sesuai dengan kebenaran astronomi fisis.

DAFTAR PUSTAKA
Khazin, Muhyiddin. 2007. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka
Murtadho, Moh. 2008. Ilmu Falak Praktis. Malang: UIN Malang Press
Izuddin, Ahmad. 2007. Fiqih Hisab Rukyah. Jakarta: Erlangga





Tidak ada komentar:

Posting Komentar