MAKALAH PERHITUNGAN IJTIMA' AWAL BULAN HIJRIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui
bahwa penanggalan Hijriah pada hakikatnya menggunakan refrensi peredaran bulan,
ini lain halnya dengan penanggalan Masehi yang menggunakan refrensi peredaraan
matahari sebagai acuan.
Perbedaan variabel hasil ini tidak
lain disebabkan banyaknya metode, data hisab serta kriteria yang digunakan.
Secara rasional, dari metode dan data yang berbeda pasti akan diperoleh hasil
yang berbeda pula. Oleh karena itu, beralih dari polemik yang cukup besar,
secara umum dalam hisab kontemporer, untuk menentukan awal bulan Kamariyah
dibutuhkan beberapa langkah untuk mendapatkan hasil. Diantaranya, melakukan
konversi dari tanggal Hijriah ke Masehi secara urfi, hal ini dilakukan untuk
memperkirakan kapan ijtima’ itu akan terjadi. Tentunya bagi bagi orang awam,
istilah ijtima’ ini menjadi persoalan yang butuh jawaban. Maka dari itu, pada
kesempatan kali ini akan sedikit dibahas istilah ijtima’ serta hal-hal yang
berkaitan dengan ijtima’.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka
dapat kami spesifikasikan menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian ijtima’?
2.
Ragam kriteria ijtima’’?
3.
Persoalan penentuan awal bulan hijriah
4.
Contoh perhitungan ijtima’ awal bulan hijriah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtima’
Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat
kata Ijtima’ disebut juga dengan istilah Iqtiran yaitu pertemuan atau
berkumpulnya (berimpitnya) dua benda yang berjalan secara aktif. Dalam redasksi
lain, Ilyasyahri Nawawi memberikan definisi Ijtima’ yaitu berkumpulnya matahari
dan bulan pada satu bujur astronomi دائرة البروج.
Muhyiddin Khazin, memberikan elaborasi tentang Ijtima’ dalam bukunya Ilmu Falak; Teori dan Praktek bahwa, kata Ijtima’ disebut juga Iqtiran yaitu ‘bersama’ atau ‘kumpul’, yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam istilah astronomi kata Ijtima’ dikenal juga dengan nama Conjunction (Konjungsi) atau New Moon. Dalam buku Almanak Hisab Rukyat Departemen Agama, kata Ijtima’ yang disebut juga dengan istilah Iqtiran, yaitu apabila matahari dan bulan berada pada bujur astronomi دوائر البروج yang sama. Dalam dunia astronomi, Ijtima’ dikenal juga dengan istilah Konjungsi (Conjuction). Oleh para ahli hisab, Ijtima’ dijadikan pedoman untuk menentukan masuknya bulan baru kamariyah, sehingga dalam ilmu hisab Ijtima’ disebut juga dengan إجتماع النيرين. Bila dikaitkan dengan bulan baru kamariah, Ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan baru dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.
Muhyiddin Khazin, memberikan elaborasi tentang Ijtima’ dalam bukunya Ilmu Falak; Teori dan Praktek bahwa, kata Ijtima’ disebut juga Iqtiran yaitu ‘bersama’ atau ‘kumpul’, yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam istilah astronomi kata Ijtima’ dikenal juga dengan nama Conjunction (Konjungsi) atau New Moon. Dalam buku Almanak Hisab Rukyat Departemen Agama, kata Ijtima’ yang disebut juga dengan istilah Iqtiran, yaitu apabila matahari dan bulan berada pada bujur astronomi دوائر البروج yang sama. Dalam dunia astronomi, Ijtima’ dikenal juga dengan istilah Konjungsi (Conjuction). Oleh para ahli hisab, Ijtima’ dijadikan pedoman untuk menentukan masuknya bulan baru kamariyah, sehingga dalam ilmu hisab Ijtima’ disebut juga dengan إجتماع النيرين. Bila dikaitkan dengan bulan baru kamariah, Ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan baru dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.
Berdasarkan pengertian di atas,
sedikit menggarisbawahi, bahwa Ijtima’ adalah suatu istilah dalam ilmu falak,
istilah itu diambil dari bahasa Arab yang mempunyai arti ‘berkumpul’, istilah
lain untuk pengertian yang sama adalah Iqtiran, dalam bahasa Indonesia istilah
ini dikenal pula dengan sebutan ‘Konjungsi’ yang diambil dari bahasa Inggris
‘Conjunction’. Dalam prosesnya, Ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan dan
matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah
timur ataupun arah barat. Fenomena Ijtima’ terjadi pada saat matahari, bulan,
dan bumi berada pada satu garis atau satu bidang yang tegak lurus bidang
ekliptika (bulan berada diantara matahari dan bumi), kejadian ini berlangsung
pada saat fase bulan mati. Kita tahu perjalanan matahari lebih cepat
dibandingkan dengan perjalanan bulan setiap harinya. Keduanya setiap saat kita
saksikan dari bumi bergerak dari arah timur menuju arah barat dengan kecepatan
yang berbeda. Proses Ijtima’ bisa kita ibaratkan dengan dua buah jarum jam yang
terus-menerus bergerak berputar mengelilingi piringan jam tersebut. Karena
kecepatan kedua jarum ini tidak sama maka suatu ketika pasti keduanya akan
mengalami peristiwa yaitu bertemunya kedua jarum jam tersebut pada posisi yang
sama pada suatu waktu dan tempat tertentu. Peristiwa yang sama juga pasti
dialami oleh dua makhluk yang kita sebutkan di atas, yaitu Bulan dan Matahari.
Peristiwa terjadinya fenomena yang hanya memerlukan waktu sepersekian detik ini
dikenal dengan sebutan Ijtima’, Muhaq, Iqtiran, Konjungsi, Bulan Mati, atau New
Moon.
Sebenarnya bila diteliti,
ternyata jarak antara kedua benda planet itu berkisar sekitar 50 derajat. Dalam
keadaan Ijtima’ pada hakikatnya masih ada bagian bulan yang mendapat pantulan
sinar dari matahari, yaitu bagian yang menghadap bumi. Namun kadang kala,
karena sangat tipis, hal ini tidak dilihat dari bumi, karena bulan yang sedang
berijtima’ itu berdekatan letaknya dengan matahari. Kondisi ini dipengaruhi
oleh peredaran masing-masing planet pada orbitnya. Bumi dan bulan beredar pada
porosnya dari arah barat ke timur.
B.
Ragam Kriteria Ijtima’
Setidaknya ada dua aliran besar
dalam menetapkan awal bulan kamariyah dengan menggunakan sistem hisab hakiki.
Pertama, aliran yang berpegang pada Ijtima’ semata. Kedua, aliran yang
berpegang pada posisi hilal di atas ufuk.
1.
Aliran Ijtima’ Semata
Aliran ini menetapkan bahwa awal
bulan kamariyah itu mulai masuk ketika terjadinya Ijtima’. Para pengikut aliran
ini mengemukakan adagium yang terkenal إجتماع النيرين إسبتوا بين الشهرين “bertemunya dua benda yang
bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah di antara dua Bulan”. Kriteria
awal Bulan (New-Moon) yang ditetapkan oleh aliran Ijtima’ semata ini sama
sekali tidak memperhatikan rukyah. Artinya tidak mempermasalahkan hilal dapat
dilihat atau tidak. Dengan kata lain, aliran ini semata-mata hanya berpegang
pada astronomi murni. Dalam astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi
sejak saat matahari dan bulan dalam keadaan Ijtima’. Jadi menurut aliran ini
Ijtima’ merupakan pemisah antara dua bulan kamariyah yang berurutan. Waktu yang
berlangsung sebelum terjadinya Ijtima’ termasuk bulan sebelumnya. Sedangkan
waktu yang berlangsung sesudah Ijtima’ termasuk bulan baru.
Dalam wilayah empirik, jarang
sekali ditemukan yang secara murni memegang kriteria ini. Ketika menentukan
awal bulan kamariyah, aliran ini biasanya memadukan saat Ijtima’ tersebut
dengan fenomena alam lain, sehingga kriteria tersebut di atas menjadi
berkembang dan akomodatif. Fenomena alam yang dihubungkan denagan saat Ijtima’
itu tidak hanya satu, sehingga aliran Ijtima’ semata ini terbagi lagi dalam
sub-sub aliran yang lebih kecil lagi.
a.
Ijtima’ Qabla al-Ghurub
Aliran ini mengaitkan saat
Ijtima’ dengan saat terbenam matahari. Mereka membuat kriteria “jika Ijtima’
terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru
(new moon), sedangkan jika Ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam
itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang
sedang berlangsung.” Aliran ini menetapkan bahwa pergantian hari atau tanggal
terjadi pada saat ghurub (terbenam) matahari. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an
surat Yaasin ayat: 40
لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن
تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
﴿٤٠﴾
Artinya; “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis
edarnya”
Para ahli hisab memahami bahwa ungkapan وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ menunjukkan bahwa permulaan hari atau tanggal adalah saat terbenam mahari, yakni saat bergantinya siang menjadi malam. Pendapat para ahli hisab ini diperaktekkan juga dengan praktek rukyah yang dilakukan oleh para sahabat pada masa Rasulullah saw. Mereka melakukan rukyah pada saat terbenam matahari. Ini menunjukkan bahwa pergantian hari dan tanggal adalah pada saat terbenam matahari.
Para ahli hisab memahami bahwa ungkapan وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ menunjukkan bahwa permulaan hari atau tanggal adalah saat terbenam mahari, yakni saat bergantinya siang menjadi malam. Pendapat para ahli hisab ini diperaktekkan juga dengan praktek rukyah yang dilakukan oleh para sahabat pada masa Rasulullah saw. Mereka melakukan rukyah pada saat terbenam matahari. Ini menunjukkan bahwa pergantian hari dan tanggal adalah pada saat terbenam matahari.
Aliran ini sama sekali tidak
mempersoalkan rukyat juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asalkan
sebelum matahari terbenam sudah terjadi Ijtima’ meskipun hilal masih di bawah
ufuk maka malam hari itu berarti sudah masuk Bulan baru.
Dengan demikian, meneurut aliran
ini, Ijtima’ adalah pemisah di antara dua bulan kamariyah. Namun karena hari
menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka jika Ijtima’ terjadi
sebelum terbenam matahari malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan jika
Ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian
akhir dari bulan yang sedang berlangsung.
b. Ijtima’ Qabla al-Fajr
Beberapa orang ahli hisab
mensinyalir adanya pendapat yang menetapkan bahwa permulaan bulan kamariyah
ditentukan pada saat Ijtima’ dan terbit fajar.
Pendapat ini didasarkan atas pemahaman terhadap firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187
Pendapat ini didasarkan atas pemahaman terhadap firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ
اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ
فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ
آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ ﴿١٨٧﴾
Artinya; Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Mereka menetapkan kriteria bahwa
“apabila Ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah
masuk bulan baru dan apabila Ijtima’ terjadi sesudah terbit fajar maka hari
sesudah terbit fajar itu masih termasuk hari yang terakhir dari bulan yang
sedang berlangsung. Merka juga berpendapat bahwa saat Ijtima’ tidak ada sangkut
pautnya dengan terbenam matahari.
c.
Ijtima’ dan Terbit Matahri
Kriteria awal bulan menurut
aliran ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi di siang hari maka siang itu, yakni
sejak terbit Matahari tersebut maka malamnya sudah termasuk bulan baru. Akan
tetapi sebaliknya jika Ijtima’ terjadi di malam hari maka awal bulan dimulai
pada siang hari berikutnya.
d.
Ijtima’ dan Tengah Hari
Kriteria awal bulan menurut
kriteria ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi sebelum tengah hari (zawal) maka
hari itu sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi jika Ijtima’ terjadi sesudah
tengah hari maka hari itu masih masuk bulan yang sedang berlangsung.
e.
Ijtima’ dan Tengah Malam
Kriteria awal bulan menurut
aliran ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka sejak
tengah malam itu sudah masuk awal Bulan. Akan tetapi bila Ijtima’ terjadi
sesudah tengah malam maka malam itu masih termasuk bulan yang sedang
berlangsung dan awal bulan (new moon) ditetapkan mulai tengah malam berikutnya.
2.
Ijtima’ dan Posisi Hilal di atas Ufuk
Para penganut aliran ini
mengatakan bahwa awal bulan kamariyah dimulai sejak saat terbenam matahari
setelah terjadi Ijtima’ dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk.
Dengan demikian, secara umum kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan
awal bulan kamariyah oleh para penganut aliran ini adalah: Pertama, awal bulan
kamariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’. Kedua,
hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam.
Menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai sejak terbenam matahari sama persis dengan aliran Ijtima’ Qabla al-Ghurub. Akan tetapi ada perbedaan yang cukup menonjol dalam menetapkan kedudukan bulan di atas ufuk. Pada Ijtima’ Qabla al-Ghurub sama sekali tidak memperhatikan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari (Sunset). Sedangkan Ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk selalu memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk. Tegasnya, walaupun Ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan kamariyah sebelum diketahui posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari itu.
Menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai sejak terbenam matahari sama persis dengan aliran Ijtima’ Qabla al-Ghurub. Akan tetapi ada perbedaan yang cukup menonjol dalam menetapkan kedudukan bulan di atas ufuk. Pada Ijtima’ Qabla al-Ghurub sama sekali tidak memperhatikan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari (Sunset). Sedangkan Ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk selalu memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk. Tegasnya, walaupun Ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan kamariyah sebelum diketahui posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari itu.
Apabila pada saat terbenam
matahari itu hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak saat itu masuk bulan
baru kamariyah, sebaliknya jika pada saat itu hilal masih berada di bawah ufuk
maka saat itu masih dianggap sebagai hari terakhir dari bulan kamariyah yang
sedang berlangsung. Oleh karena itu, yang menjadi standar adalah Ijtima’ Qabla
Al-Ghurub dan posisi hilal di atas ufuk. Aliran ini kemudian terbagi lagi
menjadi tiga cabang. Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda
terhadap kriteria posisi hilal di atas ufuk.
a.
Ijtima’ dan Ufuk Hakiki
Awal bulan kamariyah menurut
aliran ini dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat
itu hilal sudah berada di atas ufuk hakiki (true horizon). Adapun dari ufuk
hakiki adalah lingkaran bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan
tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Sedangkan posisi atau
kedudukan hilal pada ufuk adalah posisi atau kedudukan titik pusat bulan pada
ufuk hakiki. Jelasnya, menurut aliran ini awal bulan kamariyah dimulai pada
saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu titik pusat
bulan sudah berada di atas ufuk hakiki.
b.
Ijtima’ dan Ufuk Hissi
Awal bulan kamariyah menurut
aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada
saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hissi (astronomical horizon). Adapun
pengertian dari ufuk hissi adalah lingkaran pada bola yang bidangnya melalui
permukaan bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada garis vertikal dari si
pengamat tersebut.
Ufuk hissi dikenal juga dengan
istilah horison semu atau astronomical horizon. Bidang ufuk hissi ini sejajar
dengan bidang ufuk hakiki, perbedaannya dengan ufuk hakiki terletak pada beda
lihat (parallax).
Jelasnya, menurut aliran ini,
awal bulan kamariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi
Ijtima’ dan pada saat itu titik pusat Bulan berada pada ufuk hissi.
c.
Ijtima’ dan Imkanur Rukyat
Awal bulan kamariyah menurut
aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada
saat itu hilal sudah diperhitungkan untuk dapat dirukyat, sehingga diharapkan
awal bulan kamariyah yang dihitung sesuai dengan penampakkan hilal sebenarnya
(actual sighting). Jadi yang menjadi acuan adalah penentuan kriteria visibilitas
hilal untuk dapat dirukyat.
Para ahli hisab yang mendukung
aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria visibilitas hilal
untuk dirukyat. Di kalangan mereka ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal
saja dan ada pula yang menambah kriteria lain, yakni angular distance (sudut
pandang / jarak busur) antara Bulan dan Matahari. Kedua kriteria tersebut
digunakan secara kumulatif. Konferensi Internasional tentang penentuan awal
bulan kamariyah yang diselenggarakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa
untuk dapat terlihatnya hilal (cresent visibility) ada dua syarat yang harus
dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05 derajat dan
angular distance antara hilal dan matahari 07 derajat sampai 08 derajat.
C.
Ijtima’ dalam Penentuan Awal Bulan
Sebagaimana
diketahui bahwa perjalanan waktu-waktu di bumi ini ditandai dengan peredaran
benda-benda langit, terutama matahari dan bulan. Hal ini secara teologis telah
dinyatakan oleh Allah swt dalam al-Qur’an surat Yunus: 5.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ
ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ ﴿٥﴾
Artinya: Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.
Oleh
karena itu, di antara benda-benda langit yang dianggap paling penting menurut
ahli falak (astronomi) adalah matahari, bumi dan bulan. Peredaran ketiga benda
langit tersebut penting untuk pedoman menentukan awal bulan, bilangan tahun,
waktu shalat, dan lain sebagainya. Peredaran bulan mengelilingi bumi menjadi
kaedah penyusunan bulan kamariyah sedangkan peredaran bumi mengelilingi
matahari menjadi dasar penentuan bulan Syamsiyah dan waktu-waktu shalat.
Pada dasarnya, bulan mempunyai dua gerakan yang penting, yaitu rotasi dan revolusi bulan. Rotasi bulan adalah peredaran bulan pada porosnya dari arah barat ke timur. Satu kali berotasi bulan memerlukan waktu sama dengan satu kali berevolusi mengelilingi bumi. Oleh karena waktu berotasi dan berevolusi sama maka permukaan bulan yang menghadap bumi relatif tetap. Adanya sedikit perubahan pada permukaan bulan karena adanya gerak angguk bulan pada porosnya.
Pada dasarnya, bulan mempunyai dua gerakan yang penting, yaitu rotasi dan revolusi bulan. Rotasi bulan adalah peredaran bulan pada porosnya dari arah barat ke timur. Satu kali berotasi bulan memerlukan waktu sama dengan satu kali berevolusi mengelilingi bumi. Oleh karena waktu berotasi dan berevolusi sama maka permukaan bulan yang menghadap bumi relatif tetap. Adanya sedikit perubahan pada permukaan bulan karena adanya gerak angguk bulan pada porosnya.
Dalam
lintasan bulan terdapat rasi-rasi (gugusan bintang) atau manzilah-manzilah.
Bulan melintasi manzilah-manzilah tersebut pada suatu saat berada persis antara
bumi dan matahari yaitu saat Ijtma’. Maka seluruh bagian bulan tidak menerima
sinar matahari dan sedang menghadap ke bumi. Akibatnya, saat itu bulan tidak
tampak dari bumi yang diistilahkan dengan Muhaq atau bulan mati. Begitu bulan
bergerak, maka ada bagian bulan yang kelihatan sangat kecil menerima sinar
matahari terlihat dari bumi berbentuk sabit (hilal).
Periode
Ijtima’ ke Ijtima’ berikutnya disebut sebagai periode bulan Sinodis (Syahr
Iqtirani), masa antar dua ijtima’ inilah yang sering disebut sebagai usia bulan
yang hakiki. Dalam al-Qur’an, Allah swt menegaskan bahwa jumlah bulan dalam
satu tahun terdapat 12 bulan, sebagai berikut:
Artinya; “Sesungguhnya bilangan
bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu
Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa”.
Dari
uraian di atas, kemudian muncul paradigma awal bulan kamariyah berdasarkan
persepsi yang berbeda-beda. Awal bulan kamariyah menurut ahli hisab adalah
adanya hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam sedangkan ahli rukyat
memberi ketentuan adanya hilal di atas ufuk pada waktu matahari terbenam dan
dapat dirukyat. Adapun pakar astronomi menyayatakan bahwa awal bulan terjadi
sejak terjadinya konjungsi (Ijtima’ al-hilal) segaris antara matahari dan
bulan. Dengan demikian, awal bulan kamariyah itu terjadi
dengan beberapa indikator yang meliputi sudah terjadi Ijtima’, hilal berada di
atas ufuk saat matahari terbnam dan hilal tersebut dapat dilihat bagi yang
menggunakan sistem rukyat.
D. Persoalan Penentuan Awal Bulan Hijriah
Berbeda
dengan tiga persoalan sebelumnya, persoalan hisab, rukyah dalam hal penentuan
awal bulan hijriah terutama awala bulan ramadhan, syawal, dan dzulhijjah
seringkali bermunculan perbedaan, bahkan kadang menyulut permusuhan yang
menggoyak jalinan ukhuwah islamiyah. Ini wajar, mengingat dua mazhab dalam hal
fiqh hisab rukyah di Indonesia secara institusi selalu disimbolkan pada dua
organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia. Dimana Nahdatul Ulama secara
institusi disimbolkan sebagai mazhab rukyah sedangkan Muhammadiyah secara
institusi disimbolkan sebagai mazhab hisab. Sehingga persoalan yang semestinya
klsasik ini menjadi selalu actual terutama disaat menjelang penentu awal bulan
tersebut. Melihat fenomena seperti iu, kiranya tidak luput apa yang dikatakan
Snouck Hurgronje, seorang orientalis dari Belanda dalam suratnya kepada
Gubernur Jendral Belanda :
“Tak
usah heran jika di negeri ini hamper setiap tahun timbul perbedaan tentang awal
dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampong-kampung
yang berdekatan.”
Persoalan
hisab rukyah awal bulan hijriah ini pada dasarnya bersumber pada hadits-hadits
hisab rukyah. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami zahir hadits-hadits
tersebut sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa
penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhizzah harus didasarkan pada rukyah
atau melihat hilal yang dilakukan pada tanggal 29-nya. Apabila rukyah tidak
berhasil dilihat, naik karena hilal belum bisa dilihat atau karena mendung (
adanya gangguan cuaca ), maka penentuan awal bulan tersebut harus didasarkan istikmal
( disempurnakan 30 hari ). Menurut mazhab ini, rukyah bersifat ta’abbudi-ghair
al-ma’qul ma’na. artinya tidak dapat dirasionalkan, sehingga pengertiannya
tidak dapat diperluas dan dikembangkan dan hanya terbatas pada melihat dengan
mata telanjang. Dengan demikian, secara mutlak perhitungan hisab falaki tidak
dapat digunakan. Inilah yang dikenal dengan mazhab rukyah.
Dan
ada juga yang berpendapat bahwa rukyah dalam hadits-hadits hisab rukyah
termasuk ta’aqquli ma’qul al-ma’na yakni dapat dirasionalkan, sehingga dapat
diperluas dan dikembangkan. Jadi, kata rukyah dapat diartikan antara lain
dengan “mengetahui” sekalipun bersifat zhanni ( dugaan kuat ) tentang adanya
hilal, kendatipun tidak dapat dilihat misalnya berdasarkan hisab falaki. Inilah
yang dipakai oleh mazhab hisab.
Disamping
itu, ada juga pendapat yang berupaya menjembatani kedua mazhab tersebut,
seperti pendapat al-Qalyubi yang mengartikan rukyah dengan “imkan al-ru’yah” (
posisi hilal mungkin dilihat ). Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan rukyah
adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan kuat ( zhanni ) bahwa hilal
telah ada diatas ufuk dan mungkin dapat dilihat. Karena itu menurut al-Qalyubi,
awal bulan dapat ditetapkan berdasarkan hisab qath’i yang menyatakan demikian.
Sehingga kaitannya dengan rukyah, posisi hilal dinilai berkisar pada tiga
keadaan, yakni :
a. Psti tidak mungkin dilihat ( istihalah al-ru’yah ).
b. Mungkin dapat dilihat ( imkan al-ru’yah )
c. Pasti dapat dilihat ( al-qath’u bi al-ru’yah ).
Begitu
pula dalam hal keadaan hilal tidak dapat dirukyah disebabkan gangguan cuaca,
mendung misalnya, para ulama juga berbeda pendapat, yang juga berpangkal pada
perbedaan kesimpulan terhadap hadits-hadits hisab rukyah dalam hal ini adalah
dalam fokus kata faqduru lahu ( maka kadarkanlah ). Menurut mazhab rukyah, kata
tersebut harus diartikan “ sempurnakanlah bilangan bulan itu menjadi 30 hari”
sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits hisab rukyah yang lain, bahwa
manakala hilal tidak mungkin dilihat, maka jalan keluarnya bukan berpegang pada
hisab tapi pada istikmal. Sedangkan menurut mazhab hisab, kata tersebut harus
diartikan fa’udduhu bi al-hisab ( hitunglah bulan itu berdasarkan hisab ). Dan
karena kaitannya dengan masalah memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dan
pelaksanaan ibadah haji, kiranya wajar jika persoalan hisab rukyah ini mendapat
perhatian lebih dibanding dengan persoalan hisab rukyah yang lain. Sehingga
persoalan ini selalu muncul sebagai wacana perbincangan dan perdebatan dalam
kalangan ulama menjelang awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Demikianlah
seputar persoalan hisap ruyah secara umum. Dari ulasan di atas tampak bahwa
persoalan –persoalan hisap rukyah itu secara garis besar dapat dipilih kedalam dikotomi
mazhab hisab dan mazhab rukyah. Walaupun dalam persoalan tersebut ada yang
sulit untuk dipilah atau disekat secara jelas karena adanya hubungan saling
melengkapi, saling melekat , dan saling membutuhkan ( simbiosis mutualistik ).
Oleh karena persoalan penentuan awal bulan hijriah lebih berpotensi menimbulkan
terjadinya perbedaan antara mazhab rukyah dengan mazhab hisab, wajar jika
persoalan penentuan awal bulan hijriah lebih dikenal atau bahkan identik dengan
fiqh hisab rukyah daripada lainnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Ijtima’ tidak lain merupakan sebuah fenomena alam yang
digunakan oleh umat Islam untuk mengetahui kapan dimulainya bulan baru hijriah.
Dan fenomena ini terjadi pada saat taqwim bulan (bujur astronomi bulan)
bersamaan dengan taqwim matahari (bujur astronomi matahari). Ijtima’ atau dalam
istilah bahasa Inggris disebut Conjunction ini terjadi sekali dalam
setiap bulan yaitu pada akhir bulan hijriah.
Fenomena ini juga tidak lepas dari
persoalan, sebab eksistensinya yang tak dapat diobservasi atau dengan kata lain
hanya mampu diperkirakan dengan cara meng-hisab, maka tentunya hasilnya belum
tentu sesuai dengan kenyataan.
Oleh karena itu, diharapkan bagi
umat Islam agar bersikap bijak dalam menghadapi berbagai perbedaan. Dan
diharapkan pula bagi segenap praktisi falak untuk dapat mengkonsepsikan metode
hisab yang paling kontemporer dan kriteria hilal yang rasional sesuai dengan
kebenaran astronomi fisis.
DAFTAR PUSTAKA
Khazin, Muhyiddin. 2007. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Buana Pustaka
Murtadho, Moh. 2008. Ilmu Falak Praktis. Malang: UIN Malang Press
Izuddin, Ahmad. 2007. Fiqih Hisab Rukyah. Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar