Selasa, 08 April 2014

FIQH MUAMMALAT-MAKALAH HAWALAH, KAFALAH, DAN WAKALAH

MAKALAH HAWALAH, KAFALAH, DAN WAKALAH
BAB II
PEMBAHASAN
1. PEMINDAHAN UTANG  ( HIWALAH )
A.    Pengertian
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al- Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah  menurut bahasa ialah :
اَلنَّقْلُ مِنْ مَحَلِّ إِلَى مَحَلِّ
“ Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. “
            Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefenisikannya, antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
نَقْلُ الْمُطَالَبَةِ مِنْ ذِمَّةِ الْمَدْيُوْنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُلْتَزَمِ
       “ Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula. “
2.      Menurut istilah ahli fikih artinya: pindahnya utang dari tanggungan seseorang kepada orang lain.
Sabda Nabi Saw.:
Penundaan ( utang ) oleh orang kaya itu dalim, apabila diantara kamu demikian diminta menanggung ( dilimpahi tanggungan ) terimalah. ( HR. Bukhari dan Muslim )
B.     Rukun dan Syarat Hiwalah
Memindahkan suatu tanggungan ( utang ) pada orang lain, dibolehkan dengan empat syarat :
1.      Kerelaan orang yang menanggung dan penerimaan orang yang diberi pertanggungan.
2.      Kepastian utang.
3.      Penyesuaian utang.
4.      Lepasnya pertanggungan dari orang yang utang.

Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan kabul yang dilakukuan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwlah menurut Hanafiyah ialah :
1.      Orang yang memindahkan utang ( muhilf ) adalah oang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila tau masih kecil.
2.      Orang yang menerima hiwalah ( rah al-dayn ) adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3.      Orang yang dihiwalahkan ( mahal ‘alah ) juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia meridhainya.
4.      Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :
1.      Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang memindahkan utang.
2.      Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai itang kepada muhil.
3.      Muhal alaih, yaitu orang menerima hiwalah
3
4.      Shigat hiwalah, yaitu hijab dari muhil dengan kata-katanya; “ aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada anu “ dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya. “ Aku terima hiwalah engkau. “
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 318
(1)  Rukun Hawalah/pemindahan utang terdiri atas: 
a.  muhil/peminjam;
b.  muhal/pemberi pinjaman;
c.  muhal ‘alaih/penerima hawalah;
d.  muhal bihi/utang; dan 
e.  akad.
(2)  Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dinyatakan oleh para pihak secara lisan, tulisan, atau isyarat.
Pasal 319
Para pihak yang melakukan akad hawalah/pemindahan utang harus memiliki kecakapan hukum
Pasal 320
(1)  Peminjam  harus  memberitahukan  kepada  pemberi  pinjaman bahwa ia akan memindahkan utangnya kepada pihak lain.
(2)  Persetujuan  pemberi  pinjaman  mengenai  rencana  peminjam untuk  memindahkan  utang  seperti  yang  dimaksud  pada  ayat (1),  adalah  syarat  dibolehkannya  akad  hawalah/pemindahan utang.
(3)   Akad  hawalah/pemindahan  utang  dapat  dilakukan  jika  pihak penerima  hawalah/pemindahan  utang  menyetujui  keinginan peminjam pada ayat (1).
Pasal 321
(1)   Hawalah/pemindahan  utang  tidak  disyaratkan  adanya  utang dari penerima hawalah/pemindahan utang,  kepada pemindah utang. 
(2)  Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan adanya sesuatu yang diterima oleh pemindah utang dari pihak yang menerima hawalah/pemindahan utang sebagai hadiah atau imbalan. 
C.    Menanggung Utang
Boleh menanggung utang yang diketahui kadarnya ( jumlahnya ). Orang yang mempunyai piutang harus mencari orang yang menanggung dan orang yang di tanggung.
Dasar yang membolehkan seseorang menanggung utang orang lain adalah Alquran dan Sunnah Nabi Saw.
Firman Allah Ta’ala:
Dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan ( seberat ) beban unta dan aku menjamin terhadapnya ( QS. Yusuf : 72 )
            Sabda Nabi Saw.:
Utang itu harus ditunaikan dan orang yang menanggung itu berutang ( HR. Abu Daud dan Daruqutni ).
D.   Syarat Sah Menanggung Utang
Syarat sah menanggung utang ada empat yaitu :
1.      Orang yang menanggung harus memberitahu kepada orang yang mengutangi ( yang berpiutang ).
2.      Waktu menanggungnya harus positif.
3.      Hutangnya yang lazim.
4.      Keadaan hutang diketahui ( pasti )
Sesuai dengan bersabda Nabi Saw kepada Qatadah:
Sekarang telah dingin kulitnya, kita semua milik Allah dan kita kembali kepada-Nya, apa-apa yang kita kerjakan untuknya dalam tanggungan kita.
          Sabda Nabi Saw.:
Orang yang menanggung itu berutang ( sama dengan orang yang berutang ) ( HR. Abu Daud dan Tirmidzi ).
            Sebaiknya menanggung utang itu dilakukan kalau orang yang ditanggung sudah dalam kepayahan, tidak mampu menunaikan kewajibannya.
E.     Penaggungan Yang Berutang

Apabila orang yang menanggung seseorang jatuh bangkrut ( mempunyai utang ) dan telah memberikan ( sebagian ) tanggungannya, apakah ia kemabali kepada orang yang memberi utang ( berpiutang )?
Sabda Nabi Saw.:
Orang-orang mukmin itu dalam syarat-syaratmya ( artinya : dalam hal ini orang mukmin menunaikan kewajiban menurut syarat-syarat yang telah ditentukan bersama ).
F.     Beban Muhil Setelah Hiwalah

Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi pada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi pada muhil. Menurut Imam Maliki, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih menga;ami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

G.    Akibat Hawalah
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 322
(1)  Pihak  yang  utangnya  dipindahkan,  wajib  membayar  utangnya kepada penerima hawalah. 
(2)  Penjamin  utang  yang  dipindahkan,  kehilangan  haknya  untuk menahan barang jaminan.
Pasal 323
(1) Utang  pihak  peminjam  yang  meninggal  sebelum  melunasi utangnya, dibayar dengan harta yang ditinggalkannya.
(2)  Pembayaran  utang  kepada  penerima  hawalah/pemindahan utang  harus  didahulukan  atas  pihak-pihak  pemberi  pinjaman lainnya  jika  harta  yang  ditinggalkan  oleh  peminjam  tidak mencukupi. 
Pasal 324
Akad hawalah/pemindahan utang yang bersyarat menjadi batal dan utang  kembali  kepada  peminjam  jika  syarat-syaratnya  tidak terpenuhi. 
Pasal 325
Peminjam  wajib  menjual  kekayaannya  jika  pembayaran  utang  yang dipindahkan  ditetapkan  dalam  akad  bahwa  utang  akan  dibayar dengan dana hasil penjualan kekayaannya. 
Pasal 326
Pembayaran  utang  yang  dipindahkan  dapat  dinyatakan  dan dilakukan dengan waktu yang pasti, dan dapat pula dilakukan tanpa waktu pembayaran yang pasti. 
Pasal 327
Pihak  peminjam  terbebas  dari  kewajiban  membayar  utang  jika penerima hawalah/pemindahan utang membebaskannya.
Pasal 328
Apabila  terjadi  hawalah  pada  seseorang,  kemudian  orang  yang menerima  pemindahan utang tersebut  meninggal  dunia,  maka pemindahan utang yang telah terjadi tidak dapat diwariskan.
FATWA 
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 12/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
H A W A L A H 
MEMUTUSKAN
FATWA TENTANG HAWALAH
Pertama  :  Ketentuan Umum dalam Hawalah:
1.      Rukun hawalah adalah muhil yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal yakni orang  berpiutang  kepada  muhil,  muhal  ‘alaih  yakni orang  yang  berutang  kepada  muhil  dan  wajib  membayar  utang kepada  muhtal,  muhal  bih yakni  utang  muhil  kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2.      Pernyataan  ijab  dan  qabul  harus  dinyatakan  oleh  para  pihak untuk  menunjukkan kehendak  mereka  dalam  mengadakan kontrak (akad).
3.      Akad  dituangkan  secara  tertulis,  melalui  korespondensi,  atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4.      Hawalah  dilakukan  harus  dengan  persetujuan  muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5.      Kedudukan  dan  kewajiban  para  pihak  harus  dinyatakan  dalam akad secara tegas.
6.      Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah  muhtal  dan  muhal  ‘alaih;  dan  hak  penagihan  muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

Kedua  :   Jika  salah  satu  pihak  tidak  menunaikan  kewajibannya  atau  jika terjadi  perselisihan  di  antara  para  pihak,  maka  penyelesaiannya dilakukan  melalui  Badan  Arbitrasi  Syari’ah  setelah  tidak  tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. KAFALAH
A.    Pengertian
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman ( jaminan ), hamalah ( beban ) dan zama’ah ( tanggungan ). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman sebagai mana dijelaskan oleh para ulama adalah sebagai berikut.
1.      Menurut Mazhab Hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian, yang pertama arti al-kafalah ialah :
 “ menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda. “
2.        Menurut Mazhab Maliki al-kafalah ialah :
 “ orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai ( sama ) meupun pekerjaan yang berbeda. “
3.      Menurut Mazhab Hanbali bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah adalah :
“ Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta ( pemiliknya ) kepada orang yang mempunyai hak. “
4.      Menurut Mazhab Syafi’i yang dimaksud dengan al-kafalah ialah :
akad yang menetapkan iltizam hak tetap pada tanggungan ( beban ) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya. “
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Mazhab Syafi’i diatas, al-kafalah terdiri atas tiga pengertian, yaitu al-kafalat al-dayn, al-kafalat al-‘ain dan al-kafalat al-abdan.
            Setelah diketahui definisi-definisi al-kafalah atau al-dhaman menurut para ulama diatas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman ialah menggabungkan dua beban ( tanggungan ) dalam permintaan dan utang.
B.     Dasar Hukum Al-Kafalah
Kafalah disyaratkan oleh Allah Swt. Terbukti dengan firman-Nya :
قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُوْنِ مَوْثِقًا مِنَ اللهِ لَتَأْتُنَّنِيْ بِهِ
Ya’kub berkata : “ aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya kembali padaku ( yusuf: 66 ).
            Pada ayat lain Allah Swt. Berfirman :
وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَاَنَاْ بِهِ زَعِيْمٌ
Dan barang siapa yang dapat mnengembalikannya piala raja, maka ia akan  memperoleh bahan makanan seberat beban unta dan aku yang menjaminb terhadapnya ( yusuf: 72 )
            Dasar hukum al-kafalah yang kedua adalah al-sunnah, dalam hal ini Rasullah Saw. Bersabda :
اَلْعَارِيَةُ مُؤَذَةٌ وَلزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه ابوداود)
“ pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar “ ( riwayat abu dawud ).
اَنَّ لنَّبِيَّ ص م تَحَمَّلَ عَشْرَةَ دَنَانِيْرَعَنْ رَجُلٍ قَدْلَزِمَهُ غَرِيْمُهُ إِلَى شَهْرٍ وَقَضَا هَاعَنْهُ (رواه ابن ماجه)
“ bahwa Nabi Saw. Pernah menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih “ ( riwayat ibnu majah ).
أَنَّ النَّبِيَّ ص م اِمْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى مَنْ عَلَيْهِ دِيْنٌ فَقَالَ اَبُوْقَتَادَةَ صِلِّ عَلَيْهِ يَارَسُوْلَ اللهِ وَعَلَيَّ دّيْنُهُ فَصَلَّ عَلَيْهِ (رواه البخارى)
“ bahwa Nabi Saw. Tidak mau shalat mayit pada mayit yang masih punya utang, maka berkata Abu Qatadah : “ shalatlah atasnya ya Rasulullah, sayalah yang menanggung utangnya, kemudian Nabi menyalatinya “ ( riwayat bukhari ).
C.    Rukun dan Syarat al-Kafalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-kafalah satu, yaitu ijab dan kabul ( al-Jaziri, 1969: 226 ). Sedangkan menurut para ulama yang lainnya rukun dan syarat al-kafalah adalah sebagai berikut.
1.      Dhamin, kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya ( mahjur ) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2.      Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Madmunlah disebut juga dengan mafkul lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
3.      Madmun ‘anhu atau mafkul ‘anhu adalah orang yang berhutang.
4.      Madmun bih atau mafkul bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada mafkul bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
5.      Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidakdigantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 291
(1)  Rukun akad kafalah terdiri atas:
a.  kafil/penjamin;
b.  makful ‘anhu/pihak yang dijamin;
c.  makful lahu/pihak yang berpiutang;
d.  makful bihi/objek kafalah; dan 
e.  akad.
(2) Akad  yang  dimaksud  pada  ayat  (1)  harus  dinyatakan  para pihak baik dengan lisan, tulisan, atau isyarat.
Pasal 292
Para  pihak  yang  melakukan  akad  kafalah  harus  memiliki  kecakapan hukum.
Pasal 293
(1)  Makful ‘anhu/peminjam  harus  dikenal  oleh  kafil/  penjamin dan  sanggup  menyerahkan  jaminannya  kepada kafil/penjamin.
(2)  Makful  lahu/pihak  pemberi  pinjaman  harus  diketahui identitasnya.
Pasal 294
Makful bih/objek jaminan harus:
a.  merupakan  tanggungan  peminjam  baik  berupa  uang,  benda,
atau pekerjaan;
b.  dapat dilaksanakan oleh penjamin;
c.  merupakan  piutang  mengikat/lazim  yang  tidak  mungkin  hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan;
d.  jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya; dan
e.  tidak diharamkan.
Pasal 295
(1)  Jaminan  berlaku  sesuai  dengan  syarat  dan  batas  waktu  yang disepakati.
(2)  Jaminan  berlaku  sampai  terjadinya  penolakan  dari  pihak peminjam.
Pasal 296
Kafil/penjamin dibolehkan lebih dari satu orang.
Pasal 297
Barang yang sedang digadaikan atau berada di luar tanggung-jawab kafil/penjamin tidak dapat dijadikan  makful bihi.
D.    Macam-macam Al-Kafalah
Kafalah Muthlaqah dan Muqayyadah
Pasal 298
Kafalah  dapat  dilakukan  dengan  cara  muthlaqah/tidak  dengan syarat atau muaqayyadah/dengan syarat.
Pasal 299
Dalam  akad  kafalah  yang  tidak  terikat  persyaratan,  kafalah  dapat segera dituntut jika utang itu harus segera dibayar oleh debitor.
Pasal 300
Dalam  akad  kafalah  yang  terikat  persyaratan,  penjamin  tidak  dapat dituntut untuk membayar sampai syarat itu dipenuhi. 
Pasal 301
Dalam  hal  kafalah  dengan  jangka  waktu  terbatas,  tuntutan  hanya dapat diajukan kepada penjamin selama jangka waktu kafalah.
Pasal 302
Penjamin  tidak  dapat  menarik  diri  dari  kafalah  setelah  akad ditetapkan kecuali dipersyaratkan lain.
Secara umum ( garis besar ), al-kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian ( keharusan ) pada pihak penjamin ( al-kafil, al-dhamin atau al-za’im ) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan ( mafkullah )
Penanggungan atau ( jaminan ) yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafalah manyangkut badan bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-khamar dan had menuduh zina tidak sah, sebab Nabi Saw. Bersabda :
لَا كَفَالَةَ فِى حَدٍ (رواه البيهقى )
“ tidak ada kafalah dalam had “ ( riwayat al-baihaqi ).
            Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia, seperti qishash dan qadzaf karena kedua hal tersebut menurut syafi’iyah termasuk hal yang lazim. Bila menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.
            Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut. Menjmin dengan menghadirkan badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut persoalan harta maupun menyangkut masalah had. Syarat apa pun yang tidak terdapat dalam kitabullaha adalah bathil.
            Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa ( kafalah bil al-wajh ), dengan alasan bahwa Rasulullah Saw. Pernah menjamin urusan tuduhan. Namun menurut Ibnu Hazm bahwa hadis yang menceritakan tentang penjaminan Rasulullah Saw. Pada masalah tuduhan adalah bathil karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim Khaitsam bin Arrak, dia adalah dhaif dan tidak boleh diambil periwayatnya.
Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut wajib menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya, sedangakan penjamin masih hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, menurut Mazab Maliki dan penduduk Madinah penjamin wajib membayar utang orang yang ditanggungnya.
Dalam hal ini Rasulullah Saw. Bersabda :
الزَّعِيْمُ غَارِمٌ
“ penjamin  adalah berkewajiban menbayar “ ( riwayat abu dawud ).
            Sedangkan menurut Mazhab Hanafi bahwa penjamin ( kafil atau dhamin ) harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut atau sampau penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia, dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta, kecuali ketika menjaminmensyaratkan demikian ( akan membayarnya ).
            Menurut Mazhab Syafi’i, bila ashil telah meninggal dunia, maka kafil tidak wajib membayar kewajibannya karena ia tidak menjamin harta, tetapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab ( Sabiq, t.t : 161 ).
            Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran ( pemenuhan ) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, berikut ini.
1.      Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain, dalam hadis Salamah bin Aqwa bahwa Nabi Saw. Tidak mau menshalatkan mayat yang mempunyai utang, kemudian Qathadah r.a. berkata :
صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ فَصَلَّ عَلَيْهِ
“ shalatkanlah dia dan saya akan membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya.”
Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut.
a.       Hendaklah nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang Qiradh, upah dan mahar, seperti seorang berkata, “ juallah benda itu kepada A dan aku berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian”, maka harga pemnjualan benda tersebut adalah jelas, hal disyaratkan menurut Mazhab Syafi’i. Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin sesuatu yang nilainya belum ditentukan.
b.      Hendaklah barang yang dijamin diketahui menurut Mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab itu perbuatan tersebut adalah gharar. Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
2.      Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang dighasab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil seperti dalam kasus ghasab. Namun bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
3.      Kafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya ( cacat ) karena waktu yang terlalu lama atau hal-hal lainnya, maka ia ( pembawa barang ) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Kafalah atas Diri dan Harta
Pasal 303
Akad  kafalah  terdiri  atas  kafalah  atas  diri  dan  kafalah  atas  harta
Pasal 304
(1) Pihak  pemberi  pinjaman  memiliki  hak  memilih  untuk menuntut pada penjamin atau kepada pihak peminjam.
(2)  Dalam  melaksanakan  hak  tersebut  kepada  salah  satu  pihak dari  kedua  pihak  itu  tidak  berarti  bahwa  pihak  pemebri pinjaman kehilangan hak terhadap yang lainnya.
Pasal 305
Pihak-pihak  yang  mempunyai  utang  bersama  berarti  saling menjamin  satu  sama  lain,  dan  salah  satu  pihak  dari  mereka  bisa dituntut untuk membayar seluruh jumlah utang.
Pasal 306
(1) Jika  ada  suatu  syarat  pada  akad  jaminan  bahwa  peminjam menjadi  bebas  dari  tanggung  jawabnya,  maka  akad  itu berubah menjadi hawalah/pemindahan utang.
(2) Jika  peminjam  melakukan  hawalah/pemindahan  utang,  maka debitor  lain  yang  dipindahkan  utangnya  berhak  menuntut pembayaran  kepada  salah  satu  pihak  dari  mereka yang diinginkannya.
Pasal 307
(1)  Jika  penjamin  meninggal  dunia,  ahli  warisnya  berkewajiban untuk menggantikannya atau menunjuk penggantinya.
(2)  Jika  ahli  waris  gagal  dalam  menghadirkan  peminjam, maka harta  peninggalan  penjamin  harus  digunakan  untuk membayar utang yang dijaminnya. 
(3)  Jika  pemberi  pinjaman  meninggal  dunia,  maka  ahli  warisnya dapat menuntut sejumlah uang jaminan kepada penjamin.
Pasal 308
Jika  pihak  pemberi  pinjaman  menangguhkan  tuntutannya  kepada peminjam maka ia dianggap telah pula menangguhkan tuntutannya kepada penjamin.
Pasal 309
(1)  Pihak  pemberi  pinajaman  dapat  memaksa  peminjam  untuk membayar  utang  dengan  segera  apabila  diduga  yang bersangkutan akan melarikan diri dari tanggungjawabnya.
(2)  Pengadilan  dapat  memaksa  peminjam  untuk  mencari penjamin atas permohonan pihak pemberi pinjaman.
Pasal 310
(1)  Jika  penjamin  telah  melunasi  utang  peminjam  kepada  pihak pemberi  pinjaman,  maka  penjamin  berhak  menuntut  kepada peminjam sehubungan dengan kafalahnya. 
(2) Jika penjamin seperti dimaksud ayat (1) di atas hanya mampu melunasi  sebagian  utang  peminjam,  maka  ia  hanya  berhak menuntut  sebesar  utang  yang  telah  dibayarkannya. 
E.     Pembebasan dari Akad Kafalah
Pasal 311
Apabila penjamin telah menyerahkan barang jaminan kepada pihak pemberi  pinjaman  di  tempat  yang  sah  menurut  hukum,  maka penjamin bebas dari tanggungjawab.
Pasal 312
Apabila  penjamin  telah  menyerahkan  peminjam  kepada  pihak pemberi  pinjaman  sesuai  dengan  ketentuan  dalam  akad  atau sebelum  waktu  yang  ditentukan,  maka  penjamin  bebas  dari tanggungjawab.
Pasal 313
(1)  Penjamin  dibebaskan  dari  tanggungjawab  jika  peminjam meninggal dunia.
(2)  Penjamin  dibebaskan  dari  tanggungjawab  apabila  peminjam membebaskannya.
(3)  Pembebasan  penjamin  tidak  mengakibatkan  pembebasan utang peminjam.
(4) Pembebasan  utang  bagi  peminjam  mengakibatkan pembebasan tanggungjawab bagi penjamin.
Pasal 314
Penjamin  dibebaskan  dari  tanggungjawab  jika  pihak  pemberi pinjaman  meninggal  jika  peminjam  adalah  ahli  waris  tunggal  dari pihak pemberi pinjaman. 
Pasal 315
Jika  penjamin  atau  peminjam  berdamai  dengan  pihak  pemberi pinjaman mengenai sebagian dari utang, keduanya dibebaskan dari akad  jaminan  jika  persyaratan  pembebasan  dimasukkan  ke  dalam akad perdamaian mereka.
Pasal 316
Jika  penjamin  memindahkan  tanggungjawabannya  kepada  pihak lain  dengan  persetujuan  pihak  pemberi  pinjaman  dan  peminjam, maka penjamin dibebaskan dari tanggungjawab.
Pasal 317
(1) Penjamin  wajib  bertanggung  jawab  untuk  membayar  utang peminjam jika peminjam tidak melunasi utangnya.
(2)   Penjamin wajib mengganti kerugian untuk barang yang hilang atau rusak karena kelalaiannya.
F.     Pelaksanaan Al-Kafalah
Al-kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu (a) munjaz ( tanjiz ), (b) mu’allaq ( ta’liq ) dan (c) mu’aqqat ( tauqid ).
Munjaz ( tanjiz ) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata “saya tanggug si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”, lafaz-lafaz yang menunjukkan al-kafalah menurut para ulama adalah seperti lafaz : tahammaltu, takaffaltu, dhammintu, ana kafil laka, ana za’im, huwa laka ‘indi atau huwa laka ‘alaya. Apabila akad penanggungan terjadi, maka penanggungan itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau dicicil, kecuali disyaratkan pada penanggungan.
Mu’allaq ( ta’liq ) adalahmenjamin sesuatu dengan dikaitan pada sesuatu, seperti seseorang berkata, “jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan membayarnya” atau “jika kamu ditagih pada A, maka aku yang akan membayarnya,” seperti firman Allah”:
Dan barang siapa yang dapat mengembalikan piala raja, akan memperoleh bahan makanan seberat beban onta dan aku menjamin terhadapnya ( QS yusuf: 72 )
            Mu’aqqat (Taukit) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang, ‘Bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku yang menanggung pembayaran utangmu’, menurut Mazhab Hanafi penanggungan seperti ini sah, tetapi munurut Mazhab Syafi’i batal. Apabila akad telah berlangsung maka madmun lah boleh menagih kafil (orang yang menanggung beban) atau kepada madhmun’anhu atau makful’anhu (yang berutang), hal ini dijelaskan oleh para ulama jumhur.
G.    Pembayaran Dhamin
Apabila orang yang meminjam (dhamin) memenuhi kewajiban dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madhmun’anhu apabila pembayaran itu atas izinya. Dalam hal ini para ulama bersepakat , namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia pinjam tanpa izin orang yang dipinjam bebannya. Menurut al-Syafi’i dan Abu Hanafi bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, dhamin tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin (madhmun’anhu). Menurut Mazhab Maliki, dhamin berhak menagih kembali pada madhmun’anhu.
FATWA 
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 11/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
K A F A L A H
MEMUTUSKAN
FATWA TENTANG KAFALAH
Pertama  :  Ketentuan Umum Kafalah
1.      Pernyataan  ijab  dan  qabul  harus  dinyatakan  oleh  para  pihak untuk  menunjukkan  kehendak  mereka  dalam  mengadakan kontrak (akad).
2.      Dalam  akad  kafalah,  penjamin  dapat  menerima  imbalan  (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.      Kafalah  dengan  imbalan  bersifat  mengikat  dan  tidak  boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua  :  Rukun dan Syarat Kafalah
1.      Pihak Penjamin (Kafiil)
a.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b.      Berhak  penuh  untuk  melakukan  tindakan  hukum  dalam urusan  hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.      Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.       Sanggup  menyerahkan  tanggungannya  (piutang)  kepada penjamin.
b.      Dikenal oleh penjamin.
3.      Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a.       Diketahui identitasnya.
b.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c.       Berakal sehat.
4.      Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a.       Merupakan  tanggungan  pihak/orang  yang  berutang,  baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c.       Harus  merupakan  piutang  mengikat  (lazim),  yang  tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.       Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga  :   Jika  salah  satu  pihak  tidak  menunaikan  kewajibannya  atau  jika terjadi  perselisihan di  antara  para  pihak,  maka  penyelesaiannya dilakukan  melalui  Badan  Arbitrasi  Syari’ah  setelah  tidak  tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. PERWAKILAN ( wakalah )
A.    Pengertian
Perwakilan adalah al-wakalah atau al-Wikalah. Menurut bahasa artinya adalah al-hifdz, al-kifayah, al-dhaman dan al-tafwidh (penyerahan, pengdelegasian dan pemberian mandat). Al-wakalah atau al-wikalah menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
1.      `Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah:
‘Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.’
2.      Hanafiyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah:
‘Seseorang menempati diri orang lain dalam tasharuf (pengelolaan).’
3.      Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah:
‘Suatu ibarah seorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya’.
4.      Al-Hanabillah berpendapat bahwa al-wakalah ialah permintaan ‘ganti seseorang yabg membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak yang lain, yang didalamnya terdapat penggantian dari hak-hak allah dan hak-hak manusia.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
Hukum berwakil itu sunat, kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa; haram kalau pekerjaan yang diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan makruh kalau pekerjaan itu makruh.
B.     Dasar Hukum Al-Wakalah
Dasar hukum al-wakalah adalah firman Allah Swt.
            maka suruhlah salah seseorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini ( al-kahfi: 19 )
            maka kirimlah seorang utusanmu dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga wanita  ( al-nisa: 35 )
            Rasulullah Saw. Bersabda:
“ dari jabir r.a. ia berkata: aku keluar pergi ke khaibar, lalu aku datng kepada Rasulullah Saw. Maka beliau bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di khaibar, maka ambillah darinya15 wasaq” ( riwayat abu dawud ).
“ dari jabir r.a. bahwa Nabi Saw. Menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan ali r.a. disuruh menyembelih binatang kurban yang belum disembelih” ( riwayat muslim ).
“sesungguhnya Nabi Saw. Mewakilkan kepada abu rafi’ dan seorang lagi dari kaum anshar, lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan maimunah r.a.”
C.    Rukun dan Syarat al-Wakalah
Rukun-rukun al-wakalah adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang mewakilkan, syarat-syarat bagi orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik yang atau pengampu, al-wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, jika tindakan itu termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), saperti thalak, memberikan sedekah, menghibakan, dan mewasiatkan, tindakan tersebut batal.
2.      Wakil (yang mewakili), syarat-syarat bagi yang mewakili adalah orang yang berakal. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk menjadi wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah., saat itu Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.
3.      Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan ialah:
a.       Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan shalat, puasa, dan membaca ayat Alquran, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
b.      Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli
c.       Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata; ‘Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku’.
4.      Shigat, yaitu lafaz mewakilkan, shigat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Rukun dan Macam Wakalah
Pasal 457
(1) Rukun wakalah terdiri atas :
a.  wakil;
b.  muwakkil;
c.  akad.
(2) Akad pemberian kuasa terjadi apabila ada ijab dan kabul.
(3) Penerimaan diri sebagai penerima kuasa bisa dilakukan dengan lisan, tertulis, isyarat, dan atau perbuatan.
(4) Akad  pemberian  kuasa  batal  jika  pihak  penerima  kuasa menolak untuk menjadi penerima kuasa.
Pasal 458
Izin  dan  persetujuan  sama  dengan  pemberian  kuasa  untuk bertindak sebagai penerima kuasa.
Pasal 459
Persetujuan yang terjadi kemudian, hukumnya sama dengan hukum pemberian kuasa yang terdahulu untuk bertindak sebagai penerima kuasa.
Pasal 460
(1)  Suruhan tidak sama dengan pemberian kuasa 
(2)  Suatu  perintah  dapat  bersifat  pemberian  kuasa,  dan  atau bersifat suruhan.
Pasal 461
Transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan atau terbatas.

Syarat Wakalah
Pasal 462
(1)  Orang  yang  menjadi  penerima  kuasa  harus  cakap  bertindak hukum.
(2) Orang  yang  belum  cakap  melakukan  perbuatan  hukum  tidak berhak mengangkat penerima kuasa.
(3) Seorang  anak  yang  telah  cakap  melakukan  perbuatan  hukum yang  berada  dalam  pengampuan,  tidak  boleh  mengangkat penerima  kuasa  untuk  melakukan  perbuatan  yang merugikannya.
(4) Seorang  anak  yang  telah  cakap  melakukan  perbuatan  hukum yang berada dalam pengampuan, boleh mengangkat penerima kuasa untuk melakukan perbuatan yang menguntungkannya.
(5) Seorang  anak  yang  telah  cakap  melakukan  perbuatan  hukumyang berada dalam pengampuan, boleh mengangkat penerima kuasa  untuk  melakukan  perbuatan  yang  mungkin  untung  dan mungkin rugi dengan seizin walinya.
Pasal 463
(1)  Seorang  penerima  kuasa  harus  sehat  akal  pikirannya  dan mempunyai  pemahaman  yang  sempurna  serta  cakap melakukan  perbuatan  hukum,  meski  tidak  perlu  harus  sudah dewasa.
(2) Seorang  anak  yang  sudah  mempunyai  pemahaman  yang sempurna  serta  cakap  melakukan  perbuatan  hukum  sah menjadi seorang penerima kuasa. 
(3)  Seorang anak penerima kuasa seperti disebut pada ayat (2) di atas,  tidak  memiliki  hak  dan  kewajiban  dalam  transaksi  yang dilakukannya.
(4)  Hak dan kewajiban dalam transaksi seperti disebut pada ayat (3) di ats dimiliki oleh pemberi kuasa.
Pasal 464
Seseorang  dan  atau  badan  usaha  berhak  menunjuk    pihak  lain sebagai  penerima  kuasanya  untuk  melaksanakan  suatu  tindakan yang  dapat  dilakukannya  sendiri,  memenuhi  suatu  kewajiban,  dan atau  untuk  mendapatkan  suatu  hak  dalam  kaitannya  dengan  suatu transaksi yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.
D.    Ketentuan Umum Tentang Wakalah
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 465
(1)   Suatu  transaksi  yang  dilakukan  oleh  seorang  penerima  kuasa dalam  hal  hibah,  pinjaman,  gadai,  titipan,  peminjaman, kerjasama,  dan  kerjasama  dalam  modal/usaha,  harus disandarkan kepada kehendak pemberi kuasa.
(2) Jika  transaksi  tersebut  seperti  disebut  pada  ayat  (1)  di  atas tidak  merujuk  untuk  diatasnamakan  kepada  pemberi  kuasa, maka transaksi itu tidak sah.
Pasal 466
Transaksi pemberian kuasa sah jika kekuasaannya dilaksanakan oleh penerima kuasa dan hasilnya diteruskan kepada pemberi kuasa.
Pasal 467
Hak  dan  kewajiban  di  dalam  transaksi  pemberian  kuasa dikembalikan kepada pihak pemberi kuasa.
Pasal 468
Barang  yang  diterima  pihak  penerima  kuasa  dalam  kedudukannya sebagai  penerima  kuasa  penjualan,  pembelian,  pembayaran,  atau penerimaan  pembayaran  utang  atau  barang  tertentu,  maka dianggap menjadi barang titipan.
Pasal 469
(1) Jika  seorang  atau  badan  usaha  yang  berutang  mengirim sejumlah  uang  sebagai  pembayaran  utangnya  melalui penerima  kuasa  kepada  yang  berpiutang  dan  uang  itu  hilang ketika  ada  di  tangan  penerima  kuasanya  sebelum  diterima oleh  yang  berpiutang,  maka  yang  berutang  itu  harus bertanggung jawab mengganti kerugian.
(2) Bila penerima kuasa berasal dari pihak yang berpiutang, maka yang  berpiutang  harus  bertanggung  jawab  mengganti kerugian.
Pasal 470
Jika  seseorang    atau  badan  usaha  menunjuk  dua  orang  secara bersamaan  untuk  menjadi  penerima  kuasanya,  maka  tidak  cukup satu orang saja yang bertindak sebagai penerima kuasa.
Pasal 471
(1) Pihak yang telah ditunjuk sebagai penerima kuasa untuk suatu masalah  tertentu,  tidak  berhak  menunjuk  yang  lain  sebagai penerima kuasa tanpa izin yang memberikan kuasa.
(2)  Pihak  yang  ditunjuk  oleh  penerima  kuasa  pada  ayat  (1)  akan menjadi penerima kuasa dari yang memberikan kuasa.
Pasal 472
Penerima  kuasa  yang  diberi  kuasa  untuk  melakukan  perbuatan hukum  secara  mutlak,  maka  ia  bisa  melakukan  perbuatan  hukum secara mutlak.
Pasal 473
Penerima  kuasa  yang  diberi  kuasa  untuk  melakukan  perbuatan hukum  secara  terbatas,  maka  ia  hanya  bisa  melakukan  perbuatan hukum secara terbatas.
Pasal 474
(1) Jika  disyaratkan  upah  bagi  penerima  kuasa  dalam  transaksi pemberian kuasa , maka penerima kuasa berhak atas upahnya setelah memenuhi tugasnya.
(2)  Jika  pembayaran  upah  tidak  disyaratkan  dalam  transaksi,  dan penerima kuasa itu bukan pihak yang bekerja untuk mendapat upah,  maka  pelayanannya  itu  bersifat  kebaikan  saja  dan  ia tidak berhak meminta pembayaran.
FATWA 
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 10/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
W A K A L A H
MEMUTUSKAN
FATWA TENTANG WAKALAH
Pertama  :  Ketentuan tentang Wakalah:
1.      Pernyataan  ijab  dan  qabul  harus  dinyatakan  oleh  para  pihak untuk  menunjukkan  kehendak  mereka  dalam  mengadakan kontrak (akad).
2.      Wakalah  dengan  imbalan  bersifat  mengikat  dan  tidak  boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua  :  Rukun dan Syarat Wakalah:
1.      Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a.       Pemilik  sah  yang  dapat  bertindak  terhadap  sesuatu  yang diwakilkan. 
b.      Orang  mukallaf  atau  anak  mumayyiz  dalam  batas-batas tertentu,  yakni  dalam  hal-hal  yang  bermanfaat  baginya seperti  mewakilkan  untuk  menerima  hibah,  menerima sedekah dan sebagainya.
2.      Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a.       Cakap hukum,
b.      Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya, 
c.       Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3.      Hal-hal yang diwakilkan
a.       Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b.      Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,
c.       Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.
Ketiga  :   Jika  salah  satu  pihak  tidak  menunaikan  kewajibannya  atau  jika terjadi  perselisihan  di  antara  para  pihak,  maka  penyelesaiannya dilakukan  melalui  Badan  Arbitrasi  Syari’ah  setelah  tidak  tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Sulaiman “ Fikih Islam “ Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2001
Suhendi, Hendi “ Fiqh Muamalah “ Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Fattah, Idris Abdul dan Abu Ahmadi “ Fiqih Islam Lengkap “ Jakarta : Rineka Cipta, 2004
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 13/DSN-MUI/IX/2000
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah ( KHES )














34