MAKALAH HAWALAH, KAFALAH, DAN WAKALAH
BAB II
PEMBAHASAN
1. PEMINDAHAN UTANG ( HIWALAH )
A.
Pengertian
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah
ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan
atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al- Jaziri, berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :
اَلنَّقْلُ مِنْ مَحَلِّ إِلَى
مَحَلِّ
“ Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. “
Sedangkan pengertian hiwalah menurut
istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefenisikannya, antara
lain sebagai berikut :
1.
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah
ialah :
نَقْلُ الْمُطَالَبَةِ مِنْ ذِمَّةِ الْمَدْيُوْنِ
إِلَى ذِمَّةِ الْمُلْتَزَمِ
“ Memindahkan tagihan
dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab
kewajiban pula. “
2.
Menurut istilah ahli fikih artinya: pindahnya utang dari
tanggungan seseorang kepada orang lain.
Sabda Nabi Saw.:
Penundaan ( utang ) oleh orang
kaya itu dalim, apabila diantara kamu demikian diminta menanggung ( dilimpahi
tanggungan ) terimalah. ( HR. Bukhari dan Muslim )
B.
Rukun dan Syarat
Hiwalah
Memindahkan suatu
tanggungan ( utang ) pada orang lain, dibolehkan dengan empat syarat :
1.
Kerelaan orang yang menanggung
dan penerimaan orang yang diberi pertanggungan.
2.
Kepastian utang.
3.
Penyesuaian utang.
4.
Lepasnya pertanggungan dari orang
yang utang.
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan kabul
yang dilakukuan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah.
Syarat-syarat hiwlah menurut Hanafiyah ialah :
1.
Orang yang memindahkan utang (
muhilf ) adalah oang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan
muhil dalam keadaan gila tau masih kecil.
2.
Orang yang menerima hiwalah (
rah al-dayn ) adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang
dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3.
Orang yang dihiwalahkan (
mahal ‘alah ) juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia
meridhainya.
4.
Adanya utang muhil kepada muhal
alaih.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah
itu ada empat, sebagai berikut :
1.
Muhil, yaitu orang yang
menghiwalahkan atau orang memindahkan utang.
2.
Muhtal, yaitu orang yang
dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai itang kepada muhil.
3.
Muhal alaih, yaitu orang menerima hiwalah
3
4.
Shigat hiwalah, yaitu hijab dari
muhil dengan kata-katanya; “ aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau
kepada anu “ dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya. “ Aku terima hiwalah
engkau. “
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 318
(1) Rukun Hawalah/pemindahan
utang terdiri atas:
a. muhil/peminjam;
b. muhal/pemberi pinjaman;
c. muhal ‘alaih/penerima hawalah;
d. muhal bihi/utang; dan
e. akad.
(2) Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e dinyatakan oleh para pihak secara lisan, tulisan, atau isyarat.
Pasal 319
Para pihak yang melakukan akad hawalah/pemindahan utang harus memiliki
kecakapan hukum
Pasal 320
(1) Peminjam
harus memberitahukan kepada
pemberi pinjaman bahwa ia akan
memindahkan utangnya kepada pihak lain.
(2) Persetujuan
pemberi pinjaman mengenai
rencana peminjam untuk memindahkan
utang seperti yang
dimaksud pada ayat (1),
adalah syarat dibolehkannya
akad hawalah/pemindahan utang.
(3) Akad
hawalah/pemindahan utang dapat
dilakukan jika pihak penerima hawalah/pemindahan utang
menyetujui keinginan peminjam
pada ayat (1).
Pasal 321
(1) Hawalah/pemindahan utang
tidak disyaratkan adanya
utang dari penerima hawalah/pemindahan utang, kepada pemindah utang.
(2) Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan
adanya sesuatu yang diterima oleh pemindah utang dari pihak yang menerima
hawalah/pemindahan utang sebagai hadiah atau imbalan.
C.
Menanggung Utang
Boleh menanggung utang
yang diketahui kadarnya ( jumlahnya ). Orang yang mempunyai piutang harus
mencari orang yang menanggung dan orang yang di tanggung.
Dasar yang membolehkan
seseorang menanggung utang orang lain adalah Alquran dan Sunnah Nabi Saw.
Firman Allah Ta’ala:
Dan siapa yang dapat
mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan ( seberat ) beban unta dan aku
menjamin terhadapnya ( QS. Yusuf : 72 )
Sabda Nabi Saw.:
Utang itu harus
ditunaikan dan orang yang menanggung itu berutang ( HR. Abu Daud dan Daruqutni
).
D.
Syarat Sah Menanggung
Utang
Syarat sah menanggung utang ada
empat yaitu :
1. Orang yang menanggung harus
memberitahu kepada orang yang mengutangi ( yang berpiutang ).
2. Waktu menanggungnya
harus positif.
3. Hutangnya yang lazim.
4. Keadaan hutang
diketahui ( pasti )
Sesuai dengan bersabda Nabi Saw
kepada Qatadah:
Sekarang telah dingin
kulitnya, kita semua milik Allah dan kita kembali kepada-Nya, apa-apa yang kita
kerjakan untuknya dalam tanggungan kita.
Sabda Nabi Saw.:
Orang yang menanggung
itu berutang ( sama dengan orang yang berutang ) ( HR. Abu Daud dan Tirmidzi ).
Sebaiknya menanggung utang itu
dilakukan kalau orang yang ditanggung sudah dalam kepayahan, tidak mampu
menunaikan kewajibannya.
E.
Penaggungan Yang
Berutang
Apabila orang yang menanggung seseorang jatuh bangkrut ( mempunyai utang
) dan telah memberikan ( sebagian ) tanggungannya, apakah ia kemabali kepada
orang yang memberi utang ( berpiutang )?
Sabda Nabi Saw.:
Orang-orang mukmin itu
dalam syarat-syaratmya ( artinya : dalam hal ini orang mukmin menunaikan
kewajiban menurut syarat-syarat yang telah ditentukan bersama ).
F.
Beban Muhil Setelah
Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil
gugur. Andaikata muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah
atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi pada muhil, hal ini
adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal,
ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun
untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi pada muhil. Menurut
Imam Maliki, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian
muhal’alaih menga;ami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum
membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal)
kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
G.
Akibat Hawalah
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 322
(1) Pihak yang
utangnya dipindahkan, wajib
membayar utangnya kepada penerima
hawalah.
(2) Penjamin utang
yang dipindahkan, kehilangan
haknya untuk menahan barang
jaminan.
Pasal 323
(1) Utang pihak
peminjam yang meninggal
sebelum melunasi utangnya,
dibayar dengan harta yang ditinggalkannya.
(2) Pembayaran
utang kepada penerima
hawalah/pemindahan utang
harus didahulukan atas
pihak-pihak pemberi pinjaman lainnya jika
harta yang ditinggalkan
oleh peminjam tidak mencukupi.
Pasal 324
Akad hawalah/pemindahan utang yang bersyarat menjadi batal dan
utang kembali kepada
peminjam jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi.
Pasal 325
Peminjam wajib
menjual kekayaannya jika
pembayaran utang yang dipindahkan ditetapkan
dalam akad bahwa
utang akan dibayar dengan dana hasil penjualan
kekayaannya.
Pasal 326
Pembayaran utang yang
dipindahkan dapat dinyatakan
dan dilakukan dengan waktu yang pasti, dan dapat pula dilakukan tanpa
waktu pembayaran yang pasti.
Pasal 327
Pihak peminjam terbebas
dari kewajiban membayar
utang jika penerima hawalah/pemindahan
utang membebaskannya.
Pasal 328
Apabila terjadi
hawalah pada seseorang,
kemudian orang yang menerima
pemindahan utang tersebut
meninggal dunia, maka pemindahan utang yang telah terjadi
tidak dapat diwariskan.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 12/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
H A W A L A H
MEMUTUSKAN
FATWA TENTANG HAWALAH
Pertama : Ketentuan Umum dalam Hawalah:
1.
Rukun hawalah adalah muhil yakni
orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal yakni
orang berpiutang kepada
muhil, muhal ‘alaih
yakni orang yang berutang
kepada muhil dan wajib membayar
utang kepada muhtal, muhal
bih yakni utang muhil
kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2.
Pernyataan ijab
dan qabul harus
dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad).
3.
Akad dituangkan
secara tertulis, melalui
korespondensi, atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
4.
Hawalah dilakukan
harus dengan persetujuan
muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5.
Kedudukan dan
kewajiban para pihak
harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6.
Jika transaksi hawalah telah
dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah
muhtal dan muhal
‘alaih; dan hak
penagihan muhal berpindah kepada
muhal ‘alaih.
Kedua : Jika salah
satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di
antara para pihak,
maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2. KAFALAH
A.
Pengertian
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman
( jaminan ), hamalah ( beban ) dan zama’ah ( tanggungan ).
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman
sebagai mana dijelaskan oleh para ulama adalah sebagai berikut.
1.
Menurut Mazhab Hanafi al-kafalah
memiliki dua pengertian, yang pertama arti al-kafalah ialah :
“ menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain
dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda. “
2.
Menurut Mazhab Maliki al-kafalah
ialah :
“ orang yang mempunyai hak mengerjakan
tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung
pekerjaan yang sesuai ( sama ) meupun pekerjaan yang berbeda. “
3.
Menurut Mazhab Hanbali bahwa yang
dimaksud dengan al-kafalah adalah :
“ Iltizam sesuatu yang diwajibkan
kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam
orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta ( pemiliknya ) kepada orang
yang mempunyai hak. “
4.
Menurut Mazhab Syafi’i yang
dimaksud dengan al-kafalah ialah :
akad yang menetapkan iltizam hak
tetap pada tanggungan ( beban ) yang lain atau menghadirkan zat benda yang
dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya. “
Berdasarkan definisi yang
dikemukakan oleh Mazhab Syafi’i diatas, al-kafalah terdiri atas tiga
pengertian, yaitu al-kafalat al-dayn, al-kafalat al-‘ain dan al-kafalat
al-abdan.
Setelah diketahui definisi-definisi al-kafalah
atau al-dhaman menurut para ulama diatas, kiranya dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman ialah menggabungkan dua
beban ( tanggungan ) dalam permintaan dan utang.
B.
Dasar Hukum Al-Kafalah
Kafalah disyaratkan oleh
Allah Swt. Terbukti dengan firman-Nya :
قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ
مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُوْنِ مَوْثِقًا مِنَ اللهِ لَتَأْتُنَّنِيْ بِهِ
Ya’kub berkata : “ aku
tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji yang teguh
atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya kembali padaku ( yusuf: 66 ).
Pada ayat lain Allah Swt. Berfirman
:
وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَاَنَاْ بِهِ
زَعِيْمٌ
Dan barang siapa yang
dapat mnengembalikannya piala raja, maka ia akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta
dan aku yang menjaminb terhadapnya ( yusuf: 72 )
Dasar hukum al-kafalah yang
kedua adalah al-sunnah, dalam hal ini Rasullah Saw. Bersabda :
اَلْعَارِيَةُ مُؤَذَةٌ وَلزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه
ابوداود)
“ pinjaman hendaklah
dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar “ ( riwayat abu dawud ).
اَنَّ لنَّبِيَّ ص م تَحَمَّلَ عَشْرَةَ دَنَانِيْرَعَنْ
رَجُلٍ قَدْلَزِمَهُ غَرِيْمُهُ إِلَى شَهْرٍ وَقَضَا هَاعَنْهُ (رواه ابن ماجه)
“ bahwa Nabi Saw.
Pernah menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih
ditetapkan untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar
kepada penagih “ ( riwayat ibnu majah ).
أَنَّ النَّبِيَّ ص م اِمْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ
عَلَى مَنْ عَلَيْهِ دِيْنٌ فَقَالَ اَبُوْقَتَادَةَ صِلِّ عَلَيْهِ يَارَسُوْلَ
اللهِ وَعَلَيَّ دّيْنُهُ فَصَلَّ عَلَيْهِ (رواه البخارى)
“ bahwa Nabi Saw.
Tidak mau shalat mayit pada mayit yang masih punya utang, maka berkata Abu
Qatadah : “ shalatlah atasnya ya Rasulullah, sayalah yang menanggung utangnya,
kemudian Nabi menyalatinya “ ( riwayat bukhari ).
C.
Rukun dan Syarat al-Kafalah
Menurut Mazhab Hanafi,
rukun al-kafalah satu, yaitu ijab dan kabul ( al-Jaziri, 1969: 226 ).
Sedangkan menurut para ulama yang lainnya rukun dan syarat al-kafalah
adalah sebagai berikut.
1.
Dhamin, kafil, atau za’im,
yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak
dicegah membelanjakan hartanya ( mahjur ) dan dilakukan dengan kehendaknya
sendiri.
2.
Madmun lah, yaitu orang yang
berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang
menjamin. Madmunlah disebut juga dengan mafkul lah, madmun lah
disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan,
hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
3.
Madmun ‘anhu atau mafkul ‘anhu
adalah orang yang berhutang.
4.
Madmun bih atau mafkul bih adalah
utang, barang atau orang, disyaratkan pada mafkul bih dapat
diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
5.
Lafadz, disyaratkan keadaan
lafadz itu berarti menjamin, tidakdigantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti
sementara.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 291
(1) Rukun akad kafalah terdiri
atas:
a. kafil/penjamin;
b. makful ‘anhu/pihak yang dijamin;
c. makful lahu/pihak yang berpiutang;
d. makful bihi/objek kafalah; dan
e. akad.
(2) Akad yang
dimaksud pada ayat
(1) harus dinyatakan
para pihak baik dengan lisan, tulisan, atau isyarat.
Pasal 292
Para pihak yang
melakukan akad kafalah
harus memiliki kecakapan hukum.
Pasal 293
(1) Makful ‘anhu/peminjam harus
dikenal oleh kafil/
penjamin dan sanggup menyerahkan
jaminannya kepada kafil/penjamin.
(2) Makful lahu/pihak
pemberi pinjaman harus
diketahui identitasnya.
Pasal 294
Makful bih/objek jaminan harus:
a. merupakan
tanggungan peminjam baik
berupa uang, benda,
atau pekerjaan;
b. dapat dilaksanakan oleh penjamin;
c. merupakan
piutang mengikat/lazim yang
tidak mungkin hapus
kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan;
d. jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya; dan
e. tidak diharamkan.
Pasal 295
(1) Jaminan berlaku
sesuai dengan syarat
dan batas waktu
yang disepakati.
(2) Jaminan berlaku
sampai terjadinya penolakan
dari pihak peminjam.
Pasal 296
Kafil/penjamin dibolehkan lebih dari satu orang.
Pasal 297
Barang yang sedang
digadaikan atau berada di luar tanggung-jawab kafil/penjamin tidak dapat
dijadikan makful bihi.
D.
Macam-macam Al-Kafalah
Kafalah Muthlaqah dan Muqayyadah
Pasal 298
Kafalah dapat
dilakukan dengan cara
muthlaqah/tidak dengan syarat
atau muaqayyadah/dengan syarat.
Pasal 299
Dalam akad
kafalah yang tidak
terikat persyaratan, kafalah
dapat segera dituntut jika utang itu harus segera dibayar oleh debitor.
Pasal 300
Dalam akad
kafalah yang terikat
persyaratan, penjamin tidak
dapat dituntut untuk membayar sampai syarat itu dipenuhi.
Pasal 301
Dalam hal
kafalah dengan jangka
waktu terbatas, tuntutan
hanya dapat diajukan kepada penjamin selama jangka waktu kafalah.
Pasal 302
Penjamin tidak
dapat menarik diri
dari kafalah setelah
akad ditetapkan kecuali dipersyaratkan lain.
Secara umum ( garis
besar ), al-kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah
dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dikenal
pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian ( keharusan )
pada pihak penjamin ( al-kafil, al-dhamin atau al-za’im ) untuk
menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (
mafkullah )
Penanggungan atau (
jaminan ) yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung
tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafalah manyangkut badan
bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-khamar dan
had menuduh zina tidak sah, sebab Nabi Saw. Bersabda :
لَا كَفَالَةَ فِى حَدٍ (رواه البيهقى )
“ tidak ada kafalah
dalam had “ ( riwayat al-baihaqi ).
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kafalah
dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak
manusia, seperti qishash dan qadzaf karena kedua hal tersebut
menurut syafi’iyah termasuk hal yang lazim. Bila menyangkut had yang telah
ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.
Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut.
Menjmin dengan menghadirkan badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut
persoalan harta maupun menyangkut masalah had. Syarat apa pun yang tidak
terdapat dalam kitabullaha adalah bathil.
Namun demikian, sebagian ulama
membenarkan adanya kafalah jiwa ( kafalah bil al-wajh ), dengan
alasan bahwa Rasulullah Saw. Pernah menjamin urusan tuduhan. Namun menurut Ibnu
Hazm bahwa hadis yang menceritakan tentang penjaminan Rasulullah Saw. Pada masalah
tuduhan adalah bathil karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim Khaitsam
bin Arrak, dia adalah dhaif dan tidak boleh diambil periwayatnya.
Jika seseorang
menjamin akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut wajib
menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya, sedangakan penjamin masih
hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, menurut Mazab Maliki dan
penduduk Madinah penjamin wajib membayar utang orang yang ditanggungnya.
Dalam hal ini
Rasulullah Saw. Bersabda :
الزَّعِيْمُ غَارِمٌ
“ penjamin adalah berkewajiban menbayar “ ( riwayat abu
dawud ).
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi bahwa
penjamin ( kafil atau dhamin ) harus ditahan sampai ia dapat
menghadirkan orang tersebut atau sampau penjamin mengetahui bahwa ashil telah
meninggal dunia, dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar
dengan harta, kecuali ketika menjaminmensyaratkan demikian ( akan membayarnya
).
Menurut Mazhab Syafi’i, bila ashil
telah meninggal dunia, maka kafil tidak wajib membayar kewajibannya
karena ia tidak menjamin harta, tetapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan
bebas tanggung jawab ( Sabiq, t.t : 161 ).
Kafalah yang kedua ialah kafalah
harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil
dengan pembayaran ( pemenuhan ) berupa harta. Kafalah harta ada tiga
macam, berikut ini.
1.
Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban
membayar utang yang menjadi beban orang lain, dalam hadis Salamah bin Aqwa bahwa
Nabi Saw. Tidak mau menshalatkan mayat yang mempunyai utang, kemudian Qathadah r.a.
berkata :
صَلِّ عَلَيْهِ يَا
رَسُوْلَ اللهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ فَصَلَّ عَلَيْهِ
“ shalatkanlah dia dan saya akan
membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya.”
Dalam kafalah utang
disyaratkan sebagai berikut.
a.
Hendaklah nilai barang tersebut
tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang Qiradh, upah dan
mahar, seperti seorang berkata, “ juallah benda itu kepada A dan aku
berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian”, maka harga pemnjualan
benda tersebut adalah jelas, hal disyaratkan menurut Mazhab Syafi’i. Sementara Abu
Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin sesuatu yang nilainya
belum ditentukan.
b.
Hendaklah barang yang dijamin
diketahui menurut Mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah
menjamin barang yang tidak diketahui, sebab itu perbuatan tersebut adalah gharar.
Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh
menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
2.
Kafalah dengan penyerahan
benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang
lain, seperti mengembalikan barang yang dighasab dan menyerahkan barang jualan
kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil
seperti dalam kasus ghasab. Namun bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
3.
Kafalah dengan ‘aib,
maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya (
cacat ) karena waktu yang terlalu lama atau hal-hal lainnya, maka ia ( pembawa
barang ) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti
barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang
gadai.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Kafalah atas Diri dan
Harta
Pasal 303
Akad kafalah
terdiri atas kafalah
atas diri dan
kafalah atas harta
Pasal 304
(1) Pihak pemberi
pinjaman memiliki hak
memilih untuk menuntut pada
penjamin atau kepada pihak peminjam.
(2) Dalam
melaksanakan hak tersebut
kepada salah satu
pihak dari kedua pihak
itu tidak berarti
bahwa pihak pemebri pinjaman kehilangan hak terhadap yang
lainnya.
Pasal 305
Pihak-pihak yang
mempunyai utang bersama
berarti saling menjamin satu
sama lain, dan
salah satu pihak
dari mereka bisa dituntut untuk membayar seluruh jumlah
utang.
Pasal 306
(1) Jika ada
suatu syarat pada
akad jaminan bahwa
peminjam menjadi bebas dari
tanggung jawabnya, maka
akad itu berubah menjadi
hawalah/pemindahan utang.
(2) Jika peminjam
melakukan hawalah/pemindahan utang,
maka debitor lain yang
dipindahkan utangnya berhak
menuntut pembayaran kepada salah
satu pihak dari
mereka yang diinginkannya.
Pasal 307
(1) Jika
penjamin meninggal dunia,
ahli warisnya berkewajiban untuk menggantikannya atau
menunjuk penggantinya.
(2) Jika
ahli waris gagal
dalam menghadirkan peminjam, maka harta peninggalan
penjamin harus digunakan
untuk membayar utang yang dijaminnya.
(3) Jika
pemberi pinjaman meninggal
dunia, maka ahli
warisnya dapat menuntut sejumlah uang jaminan kepada penjamin.
Pasal 308
Jika pihak
pemberi pinjaman menangguhkan
tuntutannya kepada peminjam maka
ia dianggap telah pula menangguhkan tuntutannya kepada penjamin.
Pasal 309
(1) Pihak
pemberi pinajaman dapat
memaksa peminjam untuk membayar utang
dengan segera apabila
diduga yang bersangkutan akan
melarikan diri dari tanggungjawabnya.
(2) Pengadilan
dapat memaksa peminjam
untuk mencari penjamin atas
permohonan pihak pemberi pinjaman.
Pasal 310
(1) Jika
penjamin telah melunasi
utang peminjam kepada
pihak pemberi pinjaman, maka
penjamin berhak menuntut
kepada peminjam sehubungan dengan kafalahnya.
(2) Jika penjamin
seperti dimaksud ayat (1) di atas hanya mampu melunasi sebagian
utang peminjam, maka
ia hanya berhak menuntut sebesar
utang yang telah
dibayarkannya.
E.
Pembebasan dari Akad
Kafalah
Pasal 311
Apabila penjamin telah
menyerahkan barang jaminan kepada pihak pemberi
pinjaman di tempat
yang sah menurut
hukum, maka penjamin bebas dari
tanggungjawab.
Pasal 312
Apabila penjamin
telah menyerahkan peminjam
kepada pihak pemberi pinjaman
sesuai dengan ketentuan
dalam akad atau sebelum
waktu yang ditentukan,
maka penjamin bebas
dari tanggungjawab.
Pasal 313
(1) Penjamin
dibebaskan dari tanggungjawab
jika peminjam meninggal dunia.
(2) Penjamin
dibebaskan dari tanggungjawab
apabila peminjam membebaskannya.
(3) Pembebasan
penjamin tidak mengakibatkan
pembebasan utang peminjam.
(4) Pembebasan utang bagi
peminjam mengakibatkan pembebasan
tanggungjawab bagi penjamin.
Pasal 314
Penjamin dibebaskan
dari tanggungjawab jika
pihak pemberi pinjaman meninggal
jika peminjam adalah
ahli waris tunggal
dari pihak pemberi pinjaman.
Pasal 315
Jika penjamin
atau peminjam berdamai
dengan pihak pemberi pinjaman mengenai sebagian dari utang,
keduanya dibebaskan dari akad
jaminan jika persyaratan
pembebasan dimasukkan ke
dalam akad perdamaian mereka.
Pasal 316
Jika penjamin
memindahkan
tanggungjawabannya kepada pihak lain
dengan persetujuan pihak
pemberi pinjaman dan
peminjam, maka penjamin dibebaskan dari tanggungjawab.
Pasal 317
(1) Penjamin wajib
bertanggung jawab untuk
membayar utang peminjam jika
peminjam tidak melunasi utangnya.
(2) Penjamin wajib mengganti kerugian untuk
barang yang hilang atau rusak karena kelalaiannya.
F.
Pelaksanaan Al-Kafalah
Al-kafalah dapat dilaksanakan
dengan tiga bentuk, yaitu (a) munjaz ( tanjiz ), (b) mu’allaq ( ta’liq ) dan
(c) mu’aqqat ( tauqid ).
Munjaz ( tanjiz )
ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata “saya
tanggug si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”, lafaz-lafaz yang
menunjukkan al-kafalah menurut para ulama adalah seperti lafaz : tahammaltu,
takaffaltu, dhammintu, ana kafil laka, ana za’im, huwa laka ‘indi atau huwa
laka ‘alaya. Apabila akad penanggungan terjadi, maka penanggungan itu mengikuti
akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau dicicil,
kecuali disyaratkan pada penanggungan.
Mu’allaq ( ta’liq )
adalahmenjamin sesuatu dengan dikaitan pada sesuatu, seperti seseorang berkata,
“jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan membayarnya” atau “jika
kamu ditagih pada A, maka aku yang akan membayarnya,” seperti firman Allah”:
Dan barang siapa yang
dapat mengembalikan piala raja, akan memperoleh bahan makanan seberat beban
onta dan aku menjamin terhadapnya ( QS yusuf: 72 )
Mu’aqqat (Taukit) adalah tanggungan
yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang,
‘Bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku yang menanggung pembayaran
utangmu’, menurut Mazhab Hanafi penanggungan seperti ini sah, tetapi munurut
Mazhab Syafi’i batal. Apabila akad telah berlangsung maka madmun lah boleh
menagih kafil (orang yang menanggung beban) atau kepada madhmun’anhu atau
makful’anhu (yang berutang), hal ini dijelaskan oleh para ulama jumhur.
G.
Pembayaran Dhamin
Apabila orang yang
meminjam (dhamin) memenuhi kewajiban dengan membayar utang orang yang ia jamin,
ia boleh meminta kembali kepada madhmun’anhu apabila pembayaran itu atas
izinya. Dalam hal ini para ulama bersepakat , namun mereka berbeda pendapat apabila
penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia pinjam tanpa izin orang
yang dipinjam bebannya. Menurut al-Syafi’i dan Abu Hanafi bahwa membayar utang
orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, dhamin tidak punya hak
untuk minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin (madhmun’anhu). Menurut
Mazhab Maliki, dhamin berhak menagih kembali pada madhmun’anhu.
FATWA
DEWAN SYARI’AH
NASIONAL
NO: 11/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
K A F A L A H
MEMUTUSKAN
FATWA TENTANG KAFALAH
Pertama :
Ketentuan Umum Kafalah
1.
Pernyataan ijab
dan qabul harus
dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.
Dalam akad
kafalah, penjamin dapat
menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.
Kafalah dengan
imbalan bersifat mengikat
dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua :
Rukun dan Syarat Kafalah
1.
Pihak Penjamin (Kafiil)
a.
Baligh (dewasa) dan berakal
sehat.
b.
Berhak penuh
untuk melakukan tindakan
hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan
kafalah tersebut.
2.
Pihak Orang yang berutang
(Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.
Sanggup menyerahkan
tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b.
Dikenal oleh penjamin.
3.
Pihak Orang yang Berpiutang
(Makfuul Lahu)
a.
Diketahui identitasnya.
b.
Dapat hadir pada waktu akad atau
memberikan kuasa.
c.
Berakal sehat.
4.
Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a.
Merupakan tanggungan
pihak/orang yang berutang,
baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b.
Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c.
Harus merupakan
piutang mengikat (lazim),
yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan.
d.
Harus jelas nilai, jumlah dan
spesifikasinya.
e.
Tidak bertentangan dengan
syari’ah (diharamkan).
Ketiga : Jika salah
satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara
para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. PERWAKILAN ( wakalah )
A.
Pengertian
Perwakilan adalah
al-wakalah atau al-Wikalah. Menurut bahasa artinya adalah al-hifdz, al-kifayah,
al-dhaman dan al-tafwidh (penyerahan, pengdelegasian dan pemberian mandat).
Al-wakalah atau al-wikalah menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain
sebagai berikut.
1.
`Malikiyah berpendapat bahwa
al-wakalah ialah:
‘Seseorang
menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang
mengelola pada posisi itu.’
2.
Hanafiyah berpendapat bahwa
al-wakalah ialah:
‘Seseorang menempati
diri orang lain dalam tasharuf (pengelolaan).’
3.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa al-wakalah ialah:
‘Suatu ibarah seorang
menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya’.
4.
Al-Hanabillah berpendapat bahwa
al-wakalah ialah permintaan ‘ganti seseorang yabg membolehkan tasharruf yang
seimbang pada pihak yang lain, yang didalamnya terdapat penggantian dari
hak-hak allah dan hak-hak manusia.
Berdasarkan
definisi-definisi diatas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk
mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
Hukum berwakil itu
sunat, kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa; haram kalau pekerjaan yang
diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan makruh kalau pekerjaan itu makruh.
B.
Dasar Hukum Al-Wakalah
Dasar hukum al-wakalah
adalah firman Allah Swt.
maka suruhlah salah
seseorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini (
al-kahfi: 19 )
maka kirimlah seorang
utusanmu dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga wanita ( al-nisa: 35 )
Rasulullah Saw.
Bersabda:
“ dari jabir r.a. ia berkata: aku
keluar pergi ke khaibar, lalu aku datng kepada Rasulullah Saw. Maka beliau
bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di khaibar, maka ambillah darinya15
wasaq” ( riwayat abu dawud ).
“ dari jabir r.a. bahwa Nabi Saw.
Menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan ali r.a. disuruh menyembelih
binatang kurban yang belum disembelih” ( riwayat muslim ).
“sesungguhnya Nabi Saw.
Mewakilkan kepada abu rafi’ dan seorang lagi dari kaum anshar, lalu kedua orang
itu menikahkan Nabi dengan maimunah r.a.”
C.
Rukun dan Syarat
al-Wakalah
Rukun-rukun al-wakalah
adalah sebagai berikut:
1.
Orang yang mewakilkan,
syarat-syarat bagi orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah
kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan
bukan pemilik yang atau pengampu, al-wakalah tersebut batal. Anak kecil yang
dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang
bermanfaat mahdhah, jika tindakan itu termasuk tindakan dharar mahdhah
(berbahaya), saperti thalak, memberikan sedekah, menghibakan, dan mewasiatkan,
tindakan tersebut batal.
2.
Wakil (yang mewakili),
syarat-syarat bagi yang mewakili adalah orang yang berakal. Bila seorang wakil
itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah
anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk menjadi
wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan ibunya
kepada Rasulullah., saat itu Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.
3.
Muwakkal fih (sesuatu yang
diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan ialah:
a.
Menerima penggantian, maksudnya
boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah
mewakilkan untuk mengerjakan shalat, puasa, dan membaca ayat Alquran, karena
hal ini tidak bisa diwakilkan.
b.
Dimiliki oleh yang berwakil ketika
ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli
c.
Diketahui dengan jelas, maka
batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata; ‘Aku
jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku’.
4.
Shigat, yaitu lafaz mewakilkan,
shigat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk
mewakilkan, dan wakil menerimanya.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Rukun dan Macam Wakalah
Pasal 457
(1) Rukun wakalah terdiri atas :
a. wakil;
b. muwakkil;
c. akad.
(2) Akad pemberian kuasa terjadi apabila ada ijab dan kabul.
(3) Penerimaan diri
sebagai penerima kuasa bisa dilakukan dengan lisan, tertulis, isyarat, dan atau
perbuatan.
(4) Akad pemberian
kuasa batal jika
pihak penerima kuasa menolak untuk menjadi penerima kuasa.
Pasal 458
Izin dan persetujuan
sama dengan pemberian
kuasa untuk bertindak sebagai
penerima kuasa.
Pasal 459
Persetujuan yang
terjadi kemudian, hukumnya sama dengan hukum pemberian kuasa yang terdahulu
untuk bertindak sebagai penerima kuasa.
Pasal 460
(1) Suruhan tidak sama dengan
pemberian kuasa
(2) Suatu perintah
dapat bersifat pemberian
kuasa, dan atau bersifat suruhan.
Pasal 461
Transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan atau
terbatas.
Syarat Wakalah
Pasal 462
(1) Orang yang
menjadi penerima kuasa
harus cakap bertindak hukum.
(2) Orang yang
belum cakap melakukan
perbuatan hukum tidak berhak mengangkat penerima kuasa.
(3) Seorang anak yang telah
cakap melakukan perbuatan
hukum yang berada dalam
pengampuan, tidak boleh
mengangkat penerima kuasa untuk
melakukan perbuatan yang merugikannya.
(4) Seorang anak
yang telah cakap
melakukan perbuatan hukum yang berada dalam pengampuan, boleh
mengangkat penerima kuasa untuk melakukan perbuatan yang menguntungkannya.
(5) Seorang anak
yang telah cakap
melakukan perbuatan hukumyang berada dalam pengampuan, boleh
mengangkat penerima kuasa untuk melakukan
perbuatan yang mungkin
untung dan mungkin rugi dengan
seizin walinya.
Pasal 463
(1) Seorang
penerima kuasa harus
sehat akal pikirannya
dan mempunyai pemahaman yang
sempurna serta cakap melakukan perbuatan
hukum, meski tidak
perlu harus sudah dewasa.
(2) Seorang anak
yang sudah mempunyai
pemahaman yang sempurna serta
cakap melakukan perbuatan
hukum sah menjadi seorang penerima
kuasa.
(3) Seorang anak penerima kuasa seperti disebut
pada ayat (2) di atas, tidak memiliki
hak dan kewajiban
dalam transaksi yang dilakukannya.
(4) Hak dan kewajiban dalam transaksi seperti
disebut pada ayat (3) di ats dimiliki oleh pemberi kuasa.
Pasal 464
Seseorang dan
atau badan usaha
berhak menunjuk pihak
lain sebagai penerima kuasanya
untuk melaksanakan suatu
tindakan yang dapat dilakukannya
sendiri, memenuhi suatu
kewajiban, dan atau untuk
mendapatkan suatu hak
dalam kaitannya dengan
suatu transaksi yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.
D.
Ketentuan Umum Tentang
Wakalah
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah :
Pasal 465
(1)
Suatu transaksi
yang dilakukan oleh
seorang penerima kuasa dalam
hal hibah, pinjaman,
gadai, titipan, peminjaman, kerjasama, dan
kerjasama dalam modal/usaha,
harus disandarkan kepada kehendak pemberi kuasa.
(2) Jika transaksi
tersebut seperti disebut
pada ayat (1) di atas tidak
merujuk untuk diatasnamakan
kepada pemberi kuasa, maka transaksi itu tidak sah.
Pasal 466
Transaksi pemberian
kuasa sah jika kekuasaannya dilaksanakan oleh penerima kuasa dan hasilnya
diteruskan kepada pemberi kuasa.
Pasal 467
Hak dan
kewajiban di dalam
transaksi pemberian kuasa dikembalikan kepada pihak pemberi
kuasa.
Pasal 468
Barang yang
diterima pihak penerima
kuasa dalam kedudukannya sebagai penerima
kuasa penjualan, pembelian,
pembayaran, atau penerimaan pembayaran
utang atau barang
tertentu, maka dianggap menjadi
barang titipan.
Pasal 469
(1) Jika seorang
atau badan usaha
yang berutang mengirim sejumlah uang
sebagai pembayaran utangnya
melalui penerima kuasa kepada
yang berpiutang dan
uang itu hilang ketika
ada di tangan
penerima kuasanya sebelum
diterima oleh yang berpiutang,
maka yang berutang
itu harus bertanggung jawab
mengganti kerugian.
(2) Bila penerima
kuasa berasal dari pihak yang berpiutang, maka yang berpiutang
harus bertanggung jawab
mengganti kerugian.
Pasal 470
Jika seseorang
atau badan usaha menunjuk
dua orang secara bersamaan untuk
menjadi penerima kuasanya,
maka tidak cukup satu orang saja yang bertindak sebagai
penerima kuasa.
Pasal 471
(1) Pihak yang telah
ditunjuk sebagai penerima kuasa untuk suatu masalah tertentu,
tidak berhak menunjuk
yang lain sebagai penerima kuasa tanpa izin yang
memberikan kuasa.
(2) Pihak
yang ditunjuk oleh
penerima kuasa pada
ayat (1) akan menjadi penerima kuasa dari yang
memberikan kuasa.
Pasal 472
Penerima kuasa
yang diberi kuasa
untuk melakukan perbuatan hukum secara
mutlak, maka ia
bisa melakukan perbuatan
hukum secara mutlak.
Pasal 473
Penerima kuasa
yang diberi kuasa
untuk melakukan perbuatan hukum secara
terbatas, maka ia
hanya bisa melakukan
perbuatan hukum secara terbatas.
Pasal 474
(1) Jika disyaratkan
upah bagi penerima
kuasa dalam transaksi pemberian kuasa , maka penerima
kuasa berhak atas upahnya setelah memenuhi tugasnya.
(2) Jika
pembayaran upah tidak
disyaratkan dalam transaksi,
dan penerima kuasa itu bukan pihak yang bekerja untuk mendapat
upah, maka pelayanannya
itu bersifat kebaikan
saja dan ia tidak berhak meminta pembayaran.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 10/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
W A K A L A H
MEMUTUSKAN
FATWA TENTANG WAKALAH
Pertama :
Ketentuan tentang Wakalah:
1.
Pernyataan ijab
dan qabul harus
dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.
Wakalah dengan
imbalan bersifat mengikat
dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua :
Rukun dan Syarat Wakalah:
1.
Syarat-syarat muwakkil (yang
mewakilkan)
a.
Pemilik sah
yang dapat bertindak
terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b.
Orang mukallaf
atau anak mumayyiz
dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang
bermanfaat baginya seperti mewakilkan
untuk menerima hibah,
menerima sedekah dan sebagainya.
2.
Syarat-syarat wakil (yang
mewakili)
a.
Cakap hukum,
b.
Dapat mengerjakan tugas yang
diwakilkan kepadanya,
c.
Wakil adalah orang yang diberi
amanat.
3.
Hal-hal yang diwakilkan
a.
Diketahui dengan jelas oleh orang
yang mewakili,
b.
Tidak bertentangan dengan
syari’ah Islam,
c.
Dapat diwakilkan menurut syari’ah
Islam.
Ketiga : Jika salah
satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di
antara para pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid,
Sulaiman “ Fikih Islam “ Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2001
Suhendi, Hendi “
Fiqh Muamalah “ Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Fattah, Idris
Abdul dan Abu Ahmadi “ Fiqih Islam Lengkap “ Jakarta : Rineka Cipta,
2004
Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional NO: 13/DSN-MUI/IX/2000
Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah ( KHES )
34